The Medium is the Message

Jan 14, 2015

Saya sudah lama mengkhatamkan novel You Are the Apple of My Eye oleh Giddens Ko. Sebelum membaca novel ini, saya sudah lebih dulu menyaksikan film yang mengadaptasinya dengan judul yang sama. Ketika menonton film itu, sebagaimana ketika menonton beberapa film drama Asia lainnya, saya selalu menangkap ending yang meruntuhkan imajinasi. Maksudnya, ending yang ada di film itu tidak sama dengan ending yang saya bayangkan ketika tengah menyaksikan cerita yang berjalan.

Sederhananya: saya tidak terima dengan endingnya.

Di antara drama-drama Asia yang pernah saya tonton, mungkin film inilah yang paling membuat saya galau. Film tahun 2011 yang menjadi box office di Taiwan, Hongkong, Singapura, dan Cina ini rupanya masih menyisakan sesuatu kegundahan dalam pikiran: kenapa Ke Jingteng dan Shen Jiayi putus hubungan begitu saja dalam satu event cerita (mengingat puluhan menit sebelum itu isinya perjuangan Ke Jingteng untuk mendapatkan Shen Jiayi).There must be something missing in the story. Karenanya saya membeli novelnya untuk menemukan missing link tadi.


Setelah berkali-kali membandingkan novel dan film yang mengadaptasinya (termasuk dalam kuliah), saya benar-benar yakin akan satu hal: bahwa novel itu selalu lebih baik daripada filmnya. Cerita dalam novel lebih kompleks dan alur plotnya lebih tergambar dengan jelas. Tidak mungkin ada sebuah film yang mampu menampung keseluruhan cerita dan ekspresi dari pengarang. Namun ini bisa dipahami karena durasi film yang terbatas dan ada bagian-bagian tertentu yang harus ditekankan, hingga sering menghapus bagian yang lain.

Jadi, mustahil ada sebuah film adaptasi yang lebih baik dari novelnya. Yang mungkin terjadi adalah: orang lebih suka melihat filmnya daripada membaca novelnya yang tebal.

Di samping itu, film juga memiliki keunggulan yang tidak ada dalam tulisan, yaitu soundtrack atau musik background. Itulah yang membuat semuanya lebih dramatis. Tanpa itu, apakah sebuah adegan yang penting (seperti adegan pernikahan Shen Jiayi) akan terasa begitu dramatis dan menguras air mata? Rasanya tidak. Seperti contoh lain; apakah adegan dimana Genta dan Riani yang saling menyatakan perasaan dalam film 5 cm akan seindah itu tanpa iringan lagu Rahasia Hati dari Nidji yang tiba-tiba diputar begitu saja?

Rasanya tidak.

Film hanya menang “meriah”nya saja, yang mengalihkan kita dari cerita yang kadang disederhanakan secara berlebihan oleh sutradara, termasuk You Are the Apple of My Eye. Meskipun, sekadar informasi, yang menjadi sutradara film ini adalah Giddens Ko sendiri.

Singkat cerita, karena saya penasaran dengan konflik antara Ke Jingteng dan Shen Jiayi, saya membeli novelnya. Film itu masih menyisakan pertanyaan (yang tidak penting, sebenarnya), dan saya sadar bahwa jawaban itu tersimpan baik di dalam novelnya. Benar saja, novel 300-an halaman ini menceritakan secara bertahap kisah perjuangan Ke Jingteng untuk mendapatkan Shen Jiayi. Dan kalian boleh tidak percaya, tapi menurut saya cerita yang dimuat di film itu bahkan tidak bisa menutup 30% dari seluruh penuturan Giddens!

Saya berasumsi bahwa Giddens sebagai sutradara memang hanya ingin memfokuskan pada kisah Ke Jingteng yang mengejar Shen Jiayi di SMA. Di dalam novel (dan mungkin kisah sebenarnya dari Giddens), cinta Ke Jingteng berawal dari SMP. Proses pemindahan tempat duduk dan bagaimana Shen Jiayi menusukkan pulpennya ke punggung Ke Jingteng itu terjadi di SMP, karena di SMA mereka rupanya beda kelas! Ke Jingteng sudah mulai rajin belajar sejak saat itu dan nilai-nilainya meningkat tajam.

Shen Jiayi masuk IPS sementara Jingteng masuk IPA atas saran Li Xiaohua, gadis yang sempat saling menyukai dengan Jingteng. Yap, sebelum fokus ke Shen Jiayi, Ke Jingteng sempat mengejar wanita lain. Membelikannya susu dan memetikkan bunga tiap pagi, bertukar buku latihan soal, sampai secara konyol bersepeda mengejar Li Xiaohua yang dibonceng ayahnya hanya untuk mengetahui alamatnya. Proses pendekatannya pun bisa dibilang mati-matian dan rumit—sampai bisa dibuat film tersendiri, sepertinya.

Intinya, saya tidak menyesal. Karena ternyata cerita dalam novel dan filmnya memang sebagian besar berbeda; setting tempat, waktu, tokoh, kejadian sebagian besar tidak sama dengan aslinya. Saya tidak bilang kalau filmnya jelek, hanya saja memang terlalu sederhana untuk dikatakan sebagai adaptasi.
Dan sekarang, setelah menyelesaikan cerita petualangan cinta Ke Jingteng, saya sudah bisa menerima mengapa Shen Jiayi malah menikah dengan orang lain. Serius, saya ikhlas sekarang. :)

Sebenarnya, terlepas dari hal-hal di atas, yang ingin saya sampaikan pada tulisan ini adalah bahwa apa yang diklaim Giddens sebagai novel semi-autobiografi itu hanyalah cerita yang biasa. Maksudnya, siapa yang tidak pernah mengalami kisah jatuh cinta di SMP atau SMA? Suatu ketika seorang teman yang pernah saya rekomendasikan menonton film ini pada akhirnya memberikan komentar yang senada: bahwa cerita ini begitu dekat dengan kita, seperti mengingat kembali kisah masa lalu.

Sebagian dari kita pernah menjadi seperti Ke Jingteng atau Shen Jiayi, atau teman-teman mereka dalam novel itu. Kisah dalam novel ini seperti kisah semua orang ketika masa muda mereka. Ke Jingteng adalah kita, dia bukan Habibie yang kisah cintanya dengan Ainun sampai pada tingkat “melukiskan sejarah”. Sebagian dari kita pernah mengalami sesuatu seperti “cinta pada akhirnya tidak harus bersama.”

Kalau memang ceritanya sebegitu biasa, lalu apa yang membuat novel ini begitu laris, diterjemahkan, dan sampai dibuat film? Pertanyaan yang sama bisa kita ajukan pada The Land of Five Towers oleh Ahmad Fuadi. Selain detail-detail yang kadang ditambah-tambahi oleh pengarang, apa yang dialami Alif Fikri sebagai seorang santri pondok modern mungkin sama dengan yang lain—bahkan bisa jadi ada banyak orang yang menjalani kehidupan yang lebih menarik darinya.

Saya pernah berbincang dengan Salman, teman yang meminjami saya novel Negeri 5 Menara, tentang hal ini. Perbincangan itu membuat saya berkesimpulan bahwa memang benar apa yang dialami Ahmad Fuadi sangat mungkin dialami oleh banyak orang. Bedanya, dia memiliki kemampuan untuk menceritakannya dengan baik. Itulah inti dari semua hal ini; setiap tips dan trik best seller, setiap titik yang membedakan penulis dan bukan penulis ada pada “kemampuan bercerita”.

Mereka bilang: the medium is the message. Kau mungkin punya pengalaman hidup yang luar biasa, namun tanpa kemampuan mengemas cerita itu menjadi menarik, orang-orang mungkin tidak terkesan. Meskipun, intinya bukan pada membuat orang lain terkesan, bagi saya yang lebih penting adalah bagaimana membukukan kenangan kita dengan cara terbaik yang kita bisa.

Bagi Giddens, menurut penuturannya, menulis dua atau tiga novel dalam waktu yang bersamaan adalah hal yang biasa. Hal ini mungkin juga terjadi pada penulis yang kelewat produktif seperti Tere Liye. Giddens menyebut satu istilah khusus terkait cita-citanya, yaitu menjadi “raja dongeng”.

Ada sebuah kutipan inspiratif: “ceritamu adalah kunci yang bisa membuka penjara orang lain”. Dan di dunia dimana harapan terkunci oleh tekanan persaingan dan iklan-iklan fashion, betapa pentingnya sebuah kunci. Kita tidak pernah tahu kalau suatu ketika tulisan kita mengubah hidup orang lain, atau memberikan motivasi. Jadi, “belajar menulis novel” adalah kegiatan yang selalu pantas untuk dilakukan.

Terakhir, untuk saya sendiri, beberapa teman komsobat  yang sedang dalam proses membuat kumpulan cerpen, dan semuanya yang membaca dongeng saya malam minggu ini; jangan khawatir untuk mengangkat hal-hal sederhana dalam hidup menjadi cerita. Giddens Ko dan You Are the Apple of My Eye telah mengingatkan kita, bahwa kemampuan bercerita jauh lebih penting dibandingkan cerita itu sendiri.


Terima kasih, selamat menjalani hari.


1 comment:

  1. Salam ka cahyo! Saya suka bgt sama tulisan tulisan kakak dr awal hehehe. It's real tapi ditulis dengan bahasa yg ringan dan renyah.
    Favorit saya di tulisan in: Meskipun, intinya bukan pada membuat orang lain terkesan, bagi saya yang lebih penting adalah bagaimana membukukan kenangan kita dengan cara terbaik yang kita bisa :)

    Salam kenal kak. Sukses terus^^

    ReplyDelete