Saya sudah lama mengkhatamkan novel You Are the Apple of
My Eye oleh Giddens Ko. Sebelum membaca novel ini, saya sudah lebih dulu
menyaksikan film yang mengadaptasinya dengan judul yang sama. Ketika menonton
film itu, sebagaimana ketika menonton beberapa film drama Asia lainnya, saya
selalu menangkap ending yang meruntuhkan imajinasi. Maksudnya, ending yang ada
di film itu tidak sama dengan ending yang saya bayangkan ketika tengah
menyaksikan cerita yang berjalan.
Sederhananya: saya tidak terima dengan endingnya.
Di antara drama-drama Asia yang pernah saya tonton, mungkin
film inilah yang paling membuat saya galau. Film tahun 2011 yang menjadi box
office di Taiwan, Hongkong, Singapura, dan Cina ini rupanya masih menyisakan
sesuatu kegundahan dalam pikiran: kenapa Ke Jingteng dan Shen Jiayi putus
hubungan begitu saja dalam satu event cerita (mengingat puluhan menit sebelum
itu isinya perjuangan Ke Jingteng untuk mendapatkan Shen Jiayi).There must
be something missing in the story. Karenanya saya membeli novelnya untuk
menemukan missing link tadi.
Setelah berkali-kali membandingkan novel dan film yang
mengadaptasinya (termasuk dalam kuliah), saya benar-benar yakin akan satu hal:
bahwa novel itu selalu lebih baik daripada filmnya. Cerita dalam novel lebih
kompleks dan alur plotnya lebih tergambar dengan jelas. Tidak mungkin ada
sebuah film yang mampu menampung keseluruhan cerita dan ekspresi dari
pengarang. Namun ini bisa dipahami karena durasi film yang terbatas dan ada
bagian-bagian tertentu yang harus ditekankan, hingga sering menghapus bagian
yang lain.
Jadi, mustahil ada sebuah film adaptasi yang lebih baik dari
novelnya. Yang mungkin terjadi adalah: orang lebih suka melihat filmnya
daripada membaca novelnya yang tebal.
Di samping itu, film juga memiliki keunggulan yang tidak ada
dalam tulisan, yaitu soundtrack atau musik background. Itulah yang membuat
semuanya lebih dramatis. Tanpa itu, apakah sebuah adegan yang penting (seperti
adegan pernikahan Shen Jiayi) akan terasa begitu dramatis dan menguras air
mata? Rasanya tidak. Seperti contoh lain; apakah adegan dimana Genta dan Riani
yang saling menyatakan perasaan dalam film 5 cm akan seindah itu tanpa iringan
lagu Rahasia Hati dari Nidji yang tiba-tiba diputar begitu saja?
Rasanya tidak.
Film hanya menang “meriah”nya saja, yang mengalihkan kita
dari cerita yang kadang disederhanakan secara berlebihan oleh sutradara,
termasuk You Are the Apple of My Eye. Meskipun, sekadar informasi, yang menjadi
sutradara film ini adalah Giddens Ko sendiri.
Singkat cerita, karena saya penasaran dengan konflik antara
Ke Jingteng dan Shen Jiayi, saya membeli novelnya. Film itu masih menyisakan
pertanyaan (yang tidak penting, sebenarnya), dan saya sadar bahwa jawaban itu
tersimpan baik di dalam novelnya. Benar saja, novel 300-an halaman ini
menceritakan secara bertahap kisah perjuangan Ke Jingteng untuk mendapatkan
Shen Jiayi. Dan kalian boleh tidak percaya, tapi menurut saya cerita yang
dimuat di film itu bahkan tidak bisa menutup 30% dari seluruh penuturan
Giddens!
Saya berasumsi bahwa Giddens sebagai sutradara memang hanya
ingin memfokuskan pada kisah Ke Jingteng yang mengejar Shen Jiayi di SMA. Di
dalam novel (dan mungkin kisah sebenarnya dari Giddens), cinta Ke Jingteng
berawal dari SMP. Proses pemindahan tempat duduk dan bagaimana Shen Jiayi
menusukkan pulpennya ke punggung Ke Jingteng itu terjadi di SMP, karena di SMA
mereka rupanya beda kelas! Ke Jingteng sudah mulai rajin belajar sejak saat itu
dan nilai-nilainya meningkat tajam.
Shen Jiayi masuk IPS sementara Jingteng masuk IPA atas saran
Li Xiaohua, gadis yang sempat saling menyukai dengan Jingteng. Yap, sebelum
fokus ke Shen Jiayi, Ke Jingteng sempat mengejar wanita lain. Membelikannya
susu dan memetikkan bunga tiap pagi, bertukar buku latihan soal, sampai secara
konyol bersepeda mengejar Li Xiaohua yang dibonceng ayahnya hanya untuk
mengetahui alamatnya. Proses pendekatannya pun bisa dibilang mati-matian dan
rumit—sampai bisa dibuat film tersendiri, sepertinya.
Intinya, saya tidak menyesal. Karena ternyata cerita dalam
novel dan filmnya memang sebagian besar berbeda; setting tempat, waktu, tokoh,
kejadian sebagian besar tidak sama dengan aslinya. Saya tidak bilang kalau
filmnya jelek, hanya saja memang terlalu sederhana untuk dikatakan sebagai
adaptasi.
Dan sekarang, setelah menyelesaikan cerita petualangan cinta
Ke Jingteng, saya sudah bisa menerima mengapa Shen Jiayi malah menikah dengan
orang lain. Serius, saya ikhlas sekarang. :)
Sebenarnya, terlepas dari hal-hal di atas, yang ingin saya
sampaikan pada tulisan ini adalah bahwa apa yang diklaim Giddens sebagai novel
semi-autobiografi itu hanyalah cerita yang biasa. Maksudnya, siapa yang tidak
pernah mengalami kisah jatuh cinta di SMP atau SMA? Suatu ketika seorang teman
yang pernah saya rekomendasikan menonton film ini pada akhirnya memberikan
komentar yang senada: bahwa cerita ini begitu dekat dengan kita, seperti
mengingat kembali kisah masa lalu.
Sebagian dari kita pernah menjadi seperti Ke Jingteng atau
Shen Jiayi, atau teman-teman mereka dalam novel itu. Kisah dalam novel ini
seperti kisah semua orang ketika masa muda mereka. Ke Jingteng adalah kita, dia
bukan Habibie yang kisah cintanya dengan Ainun sampai pada tingkat “melukiskan
sejarah”. Sebagian dari kita pernah mengalami sesuatu seperti “cinta pada
akhirnya tidak harus bersama.”
Kalau memang ceritanya sebegitu biasa, lalu apa yang membuat
novel ini begitu laris, diterjemahkan, dan sampai dibuat film? Pertanyaan yang
sama bisa kita ajukan pada The Land of Five Towers oleh Ahmad Fuadi. Selain detail-detail
yang kadang ditambah-tambahi oleh pengarang, apa yang dialami Alif Fikri
sebagai seorang santri pondok modern mungkin sama dengan yang lain—bahkan bisa
jadi ada banyak orang yang menjalani kehidupan yang lebih menarik darinya.
Saya pernah berbincang dengan Salman, teman yang meminjami
saya novel Negeri 5 Menara, tentang hal ini. Perbincangan itu membuat saya
berkesimpulan bahwa memang benar apa yang dialami Ahmad Fuadi sangat mungkin
dialami oleh banyak orang. Bedanya, dia memiliki kemampuan untuk
menceritakannya dengan baik. Itulah inti dari semua hal ini; setiap tips dan
trik best seller, setiap titik yang membedakan penulis dan bukan penulis ada
pada “kemampuan bercerita”.
Mereka bilang: the medium is the message. Kau mungkin punya
pengalaman hidup yang luar biasa, namun tanpa kemampuan mengemas cerita itu
menjadi menarik, orang-orang mungkin tidak terkesan. Meskipun, intinya bukan
pada membuat orang lain terkesan, bagi saya yang lebih penting adalah bagaimana
membukukan kenangan kita dengan cara terbaik yang kita bisa.
Bagi Giddens, menurut penuturannya, menulis dua atau tiga
novel dalam waktu yang bersamaan adalah hal yang biasa. Hal ini mungkin juga
terjadi pada penulis yang kelewat produktif seperti Tere Liye. Giddens menyebut
satu istilah khusus terkait cita-citanya, yaitu menjadi “raja dongeng”.
Ada sebuah kutipan inspiratif: “ceritamu adalah kunci yang
bisa membuka penjara orang lain”. Dan di dunia dimana harapan terkunci oleh
tekanan persaingan dan iklan-iklan fashion, betapa pentingnya sebuah kunci.
Kita tidak pernah tahu kalau suatu ketika tulisan kita mengubah hidup orang
lain, atau memberikan motivasi. Jadi, “belajar menulis novel” adalah kegiatan
yang selalu pantas untuk dilakukan.
Terakhir, untuk saya sendiri, beberapa teman komsobat yang sedang dalam proses membuat kumpulan
cerpen, dan semuanya yang membaca dongeng saya malam minggu ini; jangan
khawatir untuk mengangkat hal-hal sederhana dalam hidup menjadi cerita. Giddens
Ko dan You Are the Apple of My Eye telah mengingatkan kita, bahwa kemampuan
bercerita jauh lebih penting dibandingkan cerita itu sendiri.
Terima kasih, selamat menjalani hari.
Salam ka cahyo! Saya suka bgt sama tulisan tulisan kakak dr awal hehehe. It's real tapi ditulis dengan bahasa yg ringan dan renyah.
ReplyDeleteFavorit saya di tulisan in: Meskipun, intinya bukan pada membuat orang lain terkesan, bagi saya yang lebih penting adalah bagaimana membukukan kenangan kita dengan cara terbaik yang kita bisa :)
Salam kenal kak. Sukses terus^^