Krisis Budaya Kepahlawanan

Nov 12, 2014

Sepuluh November 69 tahun yang lalu, Mayjen Eric Carden Robert Mansergh, pengganti Brigjen Mallaby yang diklaim tertembak oleh milisi Indonesia, mengeluarkan ultimatum untuk meminta rakyat Surabaya menyerahkan persenjataannya dan menghentikan perlawanan pada tentara Inggris. Pada situasi yang kalut itu (pasalnya ancamannya tidak main-main: pembumihangusan), muncul seorang figur publik yang berhasil membuat rakyat Surabaya berani mengambil sikap: melawan.

Sebenarnya ada banyak pahlawan dalam peristiwa bersejarah itu, alasan mengapa Bung Tomo, si figur publik, menjadi begitu populer adalah karena dia terus mengobarkan semangat rakyat lewat radio. Itu bisa dipahami karena waktu itu dia memang menjabat sebagai ketua bidang penerangan di PRI (Pemuda Republik Indonesia). PRI adalah sebuah organisasi yang menghimpun hampir seluruh kekuatan pemuda di Surabaya.

Bagaimana Bung Tomo atau tokoh lainnya menjadi pahlawan tidak akan dibahas di sini. Karena pahlawan, dalam KBBI, diartikan sebagai “orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran—pejuang yang gagah berani”. Dengan pengertian yang seperti itu, maka pahlawan yang sebenarnya dalam peristiwa 10 November adalah rakyat. Setiap individu yang rela berkorban di bawah komando Bung Tomo layak disebut pahlawan.

Di sisi lain, definisi tersebut sekilas menimbulkan kesan kolosal di mana “perjuangan” masih berasosiasi dengan kontak fisik. Faktanya, globalisasi telah membuat konsep persaingan antar negara dari “hard power” menjadi “soft power”. Joseph S. Nye, pakar politik dari Universitas Harvard, mengatakan bahwa dalam konteks perpolitikan global, sebuah negara dapat menggunakan “soft power” untuk mendominasi negara lain dengan kekuatan nilai dan budayanya—sebuah cara menjajah secara lembut sekaligus hemat senjata.

Kita biasa membatasi pengertian “kekuatan” hanya dalam konteks serangan fisik atau militer. Padahal, lewat kekuatan budaya populer yang ditawarkan seperti film, iklan, bahkan sampai produk makanannya, negara “Sekutu” kembali menjajah kita dari segi budaya, ekonomi, dan politik. Intinya, bangsa ini sebenarnya masih dalam kondisi “perang”, dan kita butuh pahlawan.

Menakar Syarat Menjadi Pahlawan

John C. Maxwell dan Jim Dornan, dalam Becoming a Person of Influence, dua di antara sembilan syarat menjadi “pahlawan” adalah integritas dan kemampuan menavigasi. Sebelum seseorang bisa menavigasi orang lain untuk melewati kesulitan, dia harus bisa membangun hubungan berdasarkan kepercayaan (memiliki integritas). Kita bisa katakan kalau Bung Tomo dan pahlawan “klasik” lainnya yang rela mengorbankan nyawa untuk mempertahankan kemerdekaan memiliki itu.

Sayangnya, bangsa ini seperti kehilangan kemampuan untuk memproduksi pahlawan semacam itu. Betapa ironis. Dalam neo-liberal politics dengan pemilu sebagai alat utama, seperti kata Daniel Dhakidae, popularitas mengambil tempat jauh lebih di atas integritas (Dhakidae, 2014). Seseorang yang kompeten tapi tidak populer hampir dengan sendirinya tersingkir dari medan politik. Itulah mengapa hari-hari ini “figur publik” bermunculan bagai jamur di musim hujan, tapi tak jarang pernyataan mereka bertolak belakang dengan perilaku mereka.

Seperti Bung Tomo, figur-figur publik itu juga menggunakan media massa untuk mengobarkan semangat masyarakat. Tidak hanya radio, orang-orang kini menggunakan media yang lebih canggih dan widespread seperti televisi (beberapa bahkan punya channel sendiri) dan sosial media. Sayangnya sebagian besar hanya lip service sebagai usaha untuk mengantarkannya pada kekuasaan. Itulah yang membuat bangsa ini mengalami krisis keteladanan—menjadi masyarakat tanpa pahlawan.

Kompleksitas Masyarakat

Selain miskin pahlawan, hal lain yang menghambat kemajuan adalah karena masyarakat Indonesia telah berevolusi menjadi masyarakat yang susah diajak berjuang. Tampaknya “soft power” yang digunakan “musuh tidak terlihat” tadi sukses. Anak-anak muda pun kian terpolusi oleh “limbah budaya” yang terus mengalir lewat teknologi komunikasi (iklan, televisi, film, atau video-game) yang tak begitu banyak menawarkan apapun selain kemewahan hidup (Ibrahim, 2011). Promosi gaya hidup hedonis yang terus dijejalkan itu membuat pemuda kita “mati rasa” akan perjuangan dan malas belajar sejarah sehingga menjadi ahistoris terhadap budaya kepahlawanan.

Selain itu, perkembangan sosial media telah sampai ke tahap “banjir informasi”, yang menyebabkan mudahnya sebuah isu menjadi besar di masyarakat. Permasalahan di Indonesia kian hari kian kompleks dan masyarakat begitu mudah dipecah-belah. Masalah kecil dan remeh-temeh pun sering di-blow-up dan mengalihkan masyarakat dari musuh bangsa yang sebenarnya sekarang ini: kemiskinan, kesenjangan sosial, atau pendidikan.

Bung Tomo pada peristiwa 10 November adalah seorang navigator yang luar biasa. Namun itu juga karena masyarakat pada saat itu masih begitu simpel, dan sama-sama mengenali musuh yang sama: Inggris dan ultimatumnya. Namun, dengan kompleksitas masyarakat seperti ini, kalaupun kemudian muncul figur yang berintegritas, rasanya sulit untuk mau dinavigasi agar bersatu dan melawan “musuh bangsa” tadi.

Hari Minggu kemarin Jerman memperingati peristiwa Jatuhnya Tembok Berlin 25 tahun silam. Sejarah tentang peristiwa itu mestinya bisa kita jadikan pelajaran bahwa semangat persatuan memang sebuah keniscayaan untuk mematahkan serangan dari luar—seperti halnya sejarah 10 November. Tapi katakanlah, kalau Bung Tomo masih hadir saat ini di tengah-tengah kita, apakah orasi-orasinya masih bisa menyatukan masyarakat yang sudah sedemikian rumitnya? Entahlah, mana yang lebih dulu kita butuhkan: seorang pahlawan atau kesadaran (kolektif) akan pentingnya perjuangan.[]

*disampaikan pada acara diskusi Komunitas Soto Babat, 9 November 2014, bertema “Pahlawan Muda”. Dengan sedikit perubahan.

0 comments:

Post a Comment