Sepuluh November 69 tahun yang lalu, Mayjen Eric Carden
Robert Mansergh, pengganti Brigjen Mallaby yang diklaim tertembak oleh milisi
Indonesia, mengeluarkan ultimatum untuk meminta rakyat Surabaya menyerahkan
persenjataannya dan menghentikan perlawanan pada tentara Inggris. Pada situasi
yang kalut itu (pasalnya ancamannya tidak main-main: pembumihangusan), muncul
seorang figur publik yang berhasil membuat rakyat Surabaya berani mengambil
sikap: melawan.
Sebenarnya ada banyak pahlawan dalam peristiwa bersejarah
itu, alasan mengapa Bung Tomo, si figur publik, menjadi begitu populer adalah
karena dia terus mengobarkan semangat rakyat lewat radio. Itu bisa dipahami
karena waktu itu dia memang menjabat sebagai ketua bidang penerangan di PRI
(Pemuda Republik Indonesia). PRI adalah sebuah organisasi yang menghimpun
hampir seluruh kekuatan pemuda di Surabaya.
Bagaimana Bung Tomo atau tokoh lainnya menjadi pahlawan
tidak akan dibahas di sini. Karena pahlawan, dalam KBBI, diartikan sebagai “orang
yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran—pejuang
yang gagah berani”. Dengan pengertian yang seperti itu, maka pahlawan yang
sebenarnya dalam peristiwa 10 November adalah rakyat. Setiap individu yang rela
berkorban di bawah komando Bung Tomo layak disebut pahlawan.
Di sisi lain, definisi tersebut sekilas menimbulkan kesan
kolosal di mana “perjuangan” masih berasosiasi dengan kontak fisik. Faktanya,
globalisasi telah membuat konsep persaingan antar negara dari “hard power”
menjadi “soft power”. Joseph S. Nye, pakar politik dari Universitas Harvard,
mengatakan bahwa dalam konteks perpolitikan global, sebuah negara dapat
menggunakan “soft power” untuk mendominasi negara lain dengan kekuatan nilai
dan budayanya—sebuah cara menjajah secara lembut sekaligus hemat senjata.
Kita biasa membatasi pengertian “kekuatan” hanya dalam
konteks serangan fisik atau militer. Padahal, lewat kekuatan budaya populer
yang ditawarkan seperti film, iklan, bahkan sampai produk makanannya, negara
“Sekutu” kembali menjajah kita dari segi budaya, ekonomi, dan politik. Intinya,
bangsa ini sebenarnya masih dalam kondisi “perang”, dan kita butuh pahlawan.
Menakar Syarat
Menjadi Pahlawan
John C. Maxwell dan Jim Dornan, dalam Becoming a Person of Influence, dua di antara sembilan syarat
menjadi “pahlawan” adalah integritas dan kemampuan menavigasi. Sebelum
seseorang bisa menavigasi orang lain untuk melewati kesulitan, dia harus bisa membangun
hubungan berdasarkan kepercayaan (memiliki integritas). Kita bisa katakan kalau
Bung Tomo dan pahlawan “klasik” lainnya yang rela mengorbankan nyawa untuk
mempertahankan kemerdekaan memiliki itu.
Sayangnya, bangsa ini seperti kehilangan kemampuan untuk
memproduksi pahlawan semacam itu. Betapa ironis. Dalam neo-liberal politics dengan pemilu sebagai alat utama, seperti kata
Daniel Dhakidae, popularitas mengambil tempat jauh lebih di atas integritas
(Dhakidae, 2014). Seseorang yang kompeten tapi tidak populer hampir dengan
sendirinya tersingkir dari medan politik. Itulah mengapa hari-hari ini “figur
publik” bermunculan bagai jamur di musim hujan, tapi tak jarang pernyataan
mereka bertolak belakang dengan perilaku mereka.
Seperti Bung Tomo, figur-figur publik itu juga menggunakan
media massa untuk mengobarkan semangat masyarakat. Tidak hanya radio,
orang-orang kini menggunakan media yang lebih canggih dan widespread seperti televisi (beberapa bahkan punya channel sendiri)
dan sosial media. Sayangnya sebagian besar hanya lip service sebagai usaha untuk mengantarkannya pada kekuasaan. Itulah
yang membuat bangsa ini mengalami krisis keteladanan—menjadi masyarakat tanpa
pahlawan.
Kompleksitas
Masyarakat
Selain miskin pahlawan, hal lain yang menghambat kemajuan
adalah karena masyarakat Indonesia telah berevolusi menjadi masyarakat yang
susah diajak berjuang. Tampaknya “soft power” yang digunakan “musuh tidak
terlihat” tadi sukses. Anak-anak muda pun kian terpolusi oleh “limbah budaya”
yang terus mengalir lewat teknologi komunikasi (iklan, televisi, film, atau video-game) yang tak begitu banyak
menawarkan apapun selain kemewahan hidup (Ibrahim, 2011). Promosi gaya hidup
hedonis yang terus dijejalkan itu membuat pemuda kita “mati rasa” akan
perjuangan dan malas belajar sejarah sehingga menjadi ahistoris terhadap budaya
kepahlawanan.
Selain itu, perkembangan sosial media telah sampai ke tahap
“banjir informasi”, yang menyebabkan mudahnya sebuah isu menjadi besar di
masyarakat. Permasalahan di Indonesia kian hari kian kompleks dan masyarakat
begitu mudah dipecah-belah. Masalah kecil dan remeh-temeh pun sering di-blow-up dan mengalihkan masyarakat dari
musuh bangsa yang sebenarnya sekarang ini: kemiskinan, kesenjangan sosial, atau
pendidikan.
Bung Tomo pada peristiwa 10 November adalah seorang
navigator yang luar biasa. Namun itu juga karena masyarakat pada saat itu masih
begitu simpel, dan sama-sama mengenali musuh yang sama: Inggris dan
ultimatumnya. Namun, dengan kompleksitas masyarakat seperti ini, kalaupun
kemudian muncul figur yang berintegritas, rasanya sulit untuk mau dinavigasi
agar bersatu dan melawan “musuh bangsa” tadi.
Hari Minggu kemarin Jerman memperingati peristiwa Jatuhnya
Tembok Berlin 25 tahun silam. Sejarah tentang peristiwa itu mestinya bisa kita
jadikan pelajaran bahwa semangat persatuan memang sebuah keniscayaan untuk
mematahkan serangan dari luar—seperti halnya sejarah 10 November. Tapi
katakanlah, kalau Bung Tomo masih hadir saat ini di tengah-tengah kita, apakah
orasi-orasinya masih bisa menyatukan masyarakat yang sudah sedemikian rumitnya?
Entahlah, mana yang lebih dulu kita butuhkan: seorang pahlawan atau kesadaran
(kolektif) akan pentingnya perjuangan.[]
*disampaikan pada acara diskusi Komunitas Soto Babat, 9
November 2014, bertema “Pahlawan Muda”. Dengan sedikit perubahan.
0 comments:
Post a Comment