Paradigma Jurnalisme Islami

Oct 27, 2014

Pada edisinya yang ke 105 (Agustus 2014), An Najjah menuliskan headline Ahlu Bait Menggugat Syi’ah. Pada edisi ketiganya, Sabiliku menanggapi isu Islamic State dengan menulis headline Menyingkap Tabir ISIS. Kesamaan dari kedua majalah itu bukan hanya pada bahasan yang mendalam terkait isu di Timur-tengah, tapi juga menuliskan klaim yang mirip yang tertulis di cover depan: “Media Islam” dan “Seri Bacaan Islami”. Pertanyaan yang kemudian timbul adalah: mereka sebenarnya media Islami atau media Timur-tengah?

Dalam sebuah diskusi tentang Islam di tanah Jawa, Arif Wibowo, direktur Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI), mengangkat pertanyaan itu untuk menyangkal kalau mereka disebut representasi dari media Islam. Media yang Islami tidak melulu harus berisi update berita dari timur tengah. Paradigma semacam itu justru sangat mempersempit persepsi kita akan Islam. Bahkan jangan-jangan kita terbiasa tahu kondisi masyarakat di Afganistan sampai ke tingkat RW, tapi masyarakat muslim kita sendiri malah tidak dihiraukan.

Konsep jurnalisme Islami, yang oleh Tori Nuariza disinggung kembali dalam Bincang Jurnalisme yang diadakan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Solo pada Sabtu (11/10), memang tidak sesempit itu. Tori, sebagai aktivis HMI cabang Solo, menjelaskan bahwa inti sebenarnya dari jurnalisme Islami adalah pada spirit untuk memajukan masyarakat, tanpa melanggar kode etik jurnalisme. Sedangkan majalah yang saya sebut di atas menurut Tori punya sebutan sendiri: media perang pemikiran yang membela Islam. Mereka adalah “benteng terakhir” yang memang juga harus ada.

Secara umum, yang Tori maksud dengan jurnalisme Islami tidaklah jauh berbeda dengan jurnalisme lainnya. Jurnalisme Islami juga harus menganut sembilan elemen jurnalisme oleh Bill Kovach, terutama yang berpihak pada kebenaran. Namun kebenaran dalam jurnalisme hari-hari ini, menurut Tori, hanya sebatas pada kebenaran prosedural. Artinya, ketika jurnalis secara teknis sudah melakukan prosedur dengan benar maka berita yang dihasilkan sudah termasuk benar.

Di Tahun Politik yang panas ini kita melihat sendiri fenomena jurnalisme yang secara esensi tidak lagi memihak pada kebenaran—tidak cover both sides. Media telah secara terang-terangan terbagi menjadi dua kubu dan memihak salah satu capres. Ketika ada sebuah berita yang nampaknya netral, narasumbernya sengaja dipilih dari orang yang mendukung salah satu capres. Ketika melakukan survei, grafik yang ditampilkan memang benar sesuai data, tapi media itu bisa jadi secara demografi  telah memilih siapa saja respondennya.

Hal seperti itu memang bisa dikatakan benar secara prosedural, namun belum tentu mewakili kebenaran universal. Sementara, aktivitas jurnalisme bisa disebut Islami bila memegang nilai-nilai Islam seperti kejujuran, keadilan, kebenaran, dan mengkritisi ketidakadilan—terlepas dari isu yang diliput. Hanya dengan memegang prinsip-prinsip itu maka aktivitas jurnalisme akan berpihak pada yang lemah dan ditindas. Misalnya, seorang jurnalis akan berani mengangkat soal minimarket berada terlalu dekat dengan pasar tradisional.

Jurnalisme yang mendidik

Senada dengan Tori, Parni Hadi juga menyampaikan bahwa jurnalisme yang Islami adalah jurnalisme yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan universal. Tokoh pers nasional yang juga mantan Pemred Republika itu menambahkan, dalam kuliah umumnya kepada mahasiswa baru Universitas Islam Sultan Agung Semarang pada tahun 2013, bahwa jurnalisme Islami adalah jurnalisme yang meneladani empat akhlak mulia Rasulullah Muhammad SAW (Republika, 2013).

Menafsir empat sifat wajib Rasulullah SAW dalam konteks ini, Parni menjelaskan bahwa jurnalis Islami adalah jurnalis yang “berani mengungkap kebenaran (truth), menegakkan keadilan (justice), mendukung terciptanya kesejahteraan (prosperity), dan mampu menciptakan perdamaian (peace)”.

Parni menyatakan, senada dengan Tori, bahwa jurnalisme Islami bisa menjadi media paling efektif untuk mewujudkan kemajuan dalam masyarakat. Sebab, nilai dan produk jurnalisme Islami memang mengusung misi meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Salah satu sifat Rasulullah yang diterapkan adalah mendidik. Maka sudah sepantasnya bagi media massa, terutama surat kabar yang memang bisa menjangkau banyak orang, untuk melakukan fungsi edukasi ke masyarakat—bukan sebaliknya.

Media hari-hari ini, menurut Arif Wibowo, cenderung tidak mendidik, terutama dari pemilihan frase dalam konteks tertentu. Pada kasus pemerkosaan atau pergaulan bebas di kalangan remaja, misalnya, dari dulu media cetak menggunakan frase “kenakalan remaja”. Frase itu, disadari atau tidak, membuat seolah-olah wajar bagi pemuda untuk melakukan tindakan asusila. Frase tersebut melembutkan makna dan menanamkan ide ke masyarakat bahwa tindakan itu bukan termasuk tindak kriminal.

Maka dari itu, terkait dengan “spirit Islami” yang disebutkan di awal, Parni menambahkan bahwa jurnalis dalam jurnalisme Islami adalah jurnalis yang bekerja dengan menggunakan kemampuan profesional dan kecerdasan spiritualnya sekaligus. Wartawan tersebut kemudian akan memiliki kepekaan sosial yang tinggi sehingga akan tetap bersikap benar dan adil tanpa diskriminasi.

Ketika bicara jurnalisme secara institusi, tentu kita tahu bahwa ruang gerak jurnalis memang dibatasi oleh pemilik media bersangkutan. Namun bila kita sadar bahwa setiap muslim memiliki kewajiban dakwah, maka setiap pengelola media yang beragama Islam seyogyanya menjadikan jurnalistik Islami sebagai ideologi dalam profesinya—baik pengelola media massa umum maupun media massa “Islam” itu sendiri.

Speak the truth.

2 comments:

  1. Bagaimana dengan jurnalisme di voa-islam, hidayatullah dan sejenisnya? Mereka masuk jurnalisme islami atau bukan?

    ReplyDelete
  2. Kalau memang mereka berpihak ke kebenaran, iya. Tapi media-media yg menyajikan bahasan2 khusus ttg keagamaan gitu Tori punya istilah sendiri: media perang pemikiran yang membela Islam

    ReplyDelete