Ajining diri gumantung ana ing lathi, ajining raga gumantung ana ing busana.
Dua ungkapan yang cukup populer ini selalu disatukan, eksis beriringan. Karena kalau hanya disebut “ajining raga” saja, orang sering lupa “ajining diri” – yang justru lebih penting. Sebaliknya, kalau disebut “ajining diri” saja, ada yang kemudian melupakan “ajining raga”, sementara manusia cenderung menilai penampilan fisik terlebih dahulu. Misalnya, kita pergi ke restoran mahal atau bank dengan pakaian lusuh, barangkali kita akan diinterogasi dulu oleh sekuriti atau bahkan langsung diusir.
Secara umum, sebuah pitutur
memang biasanya diikuti dengan pitutur lain. Nasihat yang pertama misalnya,
dalam menyikapi “ajining raga dumunung ana busana”, kita perlu memperhatikan
aspek empan papan (sesuai tempatnya)
dan prasaja (sederhana) – dua hal
yang merupakan karakter khas orang Jawa. Kita tidak bisa selalu berpakaian
formal di setiap suasana. Misalnya, ketika tengah bermain bola, kita tidak
perlu memakai setelan jas lengkap, atau kita akan menjadi bahan tertawaan. Sekali
lagi, kita perlu bisa menempatkan diri.
Saya ingat kejadian waktu saya masih berada di semester awal.
Suatu ketika saya melihat teman saya membawa sisir di tasnya, lantas saya
bertanya, “Kok ke kampus bawa sisir?”
Dia, yang mengerti maksud kalimat saya, langsung menjelaskan alasannya. Dia
berkata, kita tengah berada di lingkungan pendidikan dan aktivitas kemahasiswaan.
Belajar adalah kewajiban, namun kita juga perlu berhubungan dengan banyak orang
untuk membangun jaringan. Maka dari itu, perlu untuk selalu berpenampilan rapi
agar memberikan kesan baik bila bertemu seseorang.
Nasihat tersebut lebih saya pahami ketika melihat kebiasaan
teman saya yang lain. Dia selalu berpakaian rapi ketika tengah melakukan
presentasi—rambutnya selalu rapi dan sering memakai kemeja lengan panjang. Tentu
saja, selain penampilan, dia juga pandai menata pemikirannya. Hampir di setiap
presentasi, dia selalu menyampaikan dengan kata-kata yang bagus dan cerdas. Memang
tidak ada gunanya rapi kalau bego di depan
kelas. Dari situ saya paham mengapa pitutur di atas menggabungkan dua nasihat,
tentang ajining penampilan dan
ucapan.
Saya melihat nasihat untuk menjaga ucapan juga terkait erat
dengan pitutur "aja waton omong nanging omonga nganggo waton". Pilihan
kata dalam nasihat tersebut selain disusun runtut dan berima, terkandung makna
yang tidak kalah bagusnya. Ada dua kata “waton” di sana, yang dalam bahasa Jawa
bisa berarti "asal-asalan", bisa berarti pula "aturan".
Sehingga pitutur tersebut dapat diartikan sebagai: jangan asal bicara tetapi
bicaralah dengan aturan.
Berbicara dengan aturan tentu saja bukan hanya bicara halus,
tapi juga bicara yang benar dan bermanfaat. Karena ucapan tidak bisa ditarik
kembali, baiknya kita berpikir lebih dahulu—apakah apa yang kita ucapkan
tersebut bermanfaat atau tidak. Kita tidak bisa asal njeplak, atau mengeluarkan janji kosong, yang bisa saja menyakiti
orang lain. Orang yang bicara ceplas-ceplos
tanpa dipikir dulu, tidak sopan, barangkali lupa bahwa "ajining diri
dumunung ana ing lati".
Saya kemudian ingat sebuah peribahasa dalam bahasa Indonesia
"mulutmu harimaumu", kita bisa apes karena omongan kita sendiri. Maka
dari itu, kita perlu memastikan apakah omongan kita sudah memenuhi tiga hal:
benar, manis dan bermanfaat. Kalaupun benar, masih harus diteliti lagi, kalau
hanya akan menimbulkan pertengkaran lebih baik dibatalkan. Berkata manis, yang
bisa kita artikan dengan memilih-kalimat-terbaik-dalam-waktu-yang-paling-singkat,
bagaimanapun juga harus dilakukan tanpa pamrih.
Lalu apa kaitannya berkata baik dengan “ajining diri” tadi?
Dalam sosiolinguistik, ada yang disebut sosiolek atau dialek sosial, yaitu
variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan dan kelas sosial para
penuturnya. Variasi inilah yang kemudian menunjukkan semua masalah pribadi
penuturnya, seperti usia, pendidikan, keadaan sosial ekonomi, pekerjaan, dan
sebagainya. Rumusnya sederhana: semakin tinggi pendidikan atau status sosial
seseorang di masyarakat, gaya berbicara yang digunakan sehari-hari semakin
bagus atau bernilai, begitu juga sebaliknya.
Pernahkah kita mendengar orang yang dihormati di lingkungan
kita memakai bahasa seenaknya saat bicara? Tentu tidak. Tanpa bermaksud
menyama-ratakan, biasanya memang pengangguran yang kerjanya cuma menongkronglah
yang sering ceplas-ceplos saat
berbincang dengan rekan sepantarannya. Lagipula, Rasullullah SAW mengingatkan
bahwa kalau tidak bisa berbicara yang baik, lebih baik diam. Dalam beberapa
kasus, seperti tuntutan peran atau pekerjaan, kita mungkin perlu banyak bicara.
Namun sekali lagi, kita perlu menjaga “ajining diri” tadi dengan tidak asal
bicara, tapi bicara dengan aturan. []
itu yang pasti bukan fotomu Cahyo. haha
ReplyDeletesetuju sama dengan tulisan di atas. siapa bilang penampilan itu tidak penting. penampilan itu kan pintu untuk mengetahui siapa diri kita. siapa bilang juga tutur kata itu tidak penting. tutur kata itu yang menandakan intelektualitas kita.
Iya Mas. Itulah inti dari tulisan ini.
DeletePenampilan itu penting...
ReplyDeleteIya Kak tapi bukan yg paling penting. Rapi kalau bego ya gimanaaa
DeleteFotonya kok cakep *salkus*
ReplyDeleteSalam kenal, kak! :)
Iya dia rapi makanya cakep :D
DeleteSalam kenal juga, Dek. Follow aja blogku kalau mau kenal penulisnya lebih jauh :)
Tulisannya keren kak! Blognya juga bagus. Tulisan ini saya suka banget.
ReplyDeleteMakasih Dek. Boleh lho kalau mau follow blognya :D
DeleteIya sih,,
ReplyDeletetidak bias berbicara baik, lebih baik diam.
Tapi....... Susah juga dilakukannya.
But, try to be the best lah ya :)
Good posting !
Yang mau berkunjung boleh :
My Life Journey
Bener. Ini aja aku nulis padahal juga belum bisa menerapkan secara maksimal. Tapi yaa saling mengingatkan aja deh. :D
DeleteYa juga sih 2-2nya penting dalam hal masing-masing tentunya
ReplyDeleteKalau bisa diseimbangkan Kak
Deletehi cahyo, keren deh tulisannya 👍
ReplyDelete