Ajining Diri dan Ajining Raga

Oct 26, 2014

Ajining diri gumantung ana ing lathi, ajining raga gumantung ana ing busana.

Dua ungkapan yang cukup populer ini selalu disatukan, eksis beriringan. Karena kalau hanya disebut “ajining raga” saja, orang sering lupa “ajining diri” – yang justru lebih penting. Sebaliknya, kalau disebut “ajining diri” saja, ada yang kemudian melupakan “ajining raga”, sementara manusia cenderung menilai penampilan fisik terlebih dahulu. Misalnya, kita pergi ke restoran mahal atau bank dengan pakaian lusuh, barangkali kita akan diinterogasi dulu oleh sekuriti atau bahkan langsung diusir.

Secara umum, sebuah pitutur memang biasanya diikuti dengan pitutur lain. Nasihat yang pertama misalnya, dalam menyikapi “ajining raga dumunung ana busana”, kita perlu memperhatikan aspek empan papan (sesuai tempatnya) dan prasaja (sederhana) – dua hal yang merupakan karakter khas orang Jawa. Kita tidak bisa selalu berpakaian formal di setiap suasana. Misalnya, ketika tengah bermain bola, kita tidak perlu memakai setelan jas lengkap, atau kita akan menjadi bahan tertawaan. Sekali lagi, kita perlu bisa menempatkan diri.



Saya ingat kejadian waktu saya masih berada di semester awal. Suatu ketika saya melihat teman saya membawa sisir di tasnya, lantas saya bertanya, “Kok ke kampus bawa sisir?” Dia, yang mengerti maksud kalimat saya, langsung menjelaskan alasannya. Dia berkata, kita tengah berada di lingkungan pendidikan dan aktivitas kemahasiswaan. Belajar adalah kewajiban, namun kita juga perlu berhubungan dengan banyak orang untuk membangun jaringan. Maka dari itu, perlu untuk selalu berpenampilan rapi agar memberikan kesan baik bila bertemu seseorang.

Nasihat tersebut lebih saya pahami ketika melihat kebiasaan teman saya yang lain. Dia selalu berpakaian rapi ketika tengah melakukan presentasi—rambutnya selalu rapi dan sering memakai kemeja lengan panjang. Tentu saja, selain penampilan, dia juga pandai menata pemikirannya. Hampir di setiap presentasi, dia selalu menyampaikan dengan kata-kata yang bagus dan cerdas. Memang tidak ada gunanya rapi kalau bego di depan kelas. Dari situ saya paham mengapa pitutur di atas menggabungkan dua nasihat, tentang ajining penampilan dan ucapan.

Saya melihat nasihat untuk menjaga ucapan juga terkait erat dengan pitutur "aja waton omong nanging omonga nganggo waton". Pilihan kata dalam nasihat tersebut selain disusun runtut dan berima, terkandung makna yang tidak kalah bagusnya. Ada dua kata “waton” di sana, yang dalam bahasa Jawa bisa berarti "asal-asalan", bisa berarti pula "aturan". Sehingga pitutur tersebut dapat diartikan sebagai: jangan asal bicara tetapi bicaralah dengan aturan.

Berbicara dengan aturan tentu saja bukan hanya bicara halus, tapi juga bicara yang benar dan bermanfaat. Karena ucapan tidak bisa ditarik kembali, baiknya kita berpikir lebih dahulu—apakah apa yang kita ucapkan tersebut bermanfaat atau tidak. Kita tidak bisa asal njeplak, atau mengeluarkan janji kosong, yang bisa saja menyakiti orang lain. Orang yang bicara ceplas-ceplos tanpa dipikir dulu, tidak sopan, barangkali lupa bahwa "ajining diri dumunung ana ing lati".

Saya kemudian ingat sebuah peribahasa dalam bahasa Indonesia "mulutmu harimaumu", kita bisa apes karena omongan kita sendiri. Maka dari itu, kita perlu memastikan apakah omongan kita sudah memenuhi tiga hal: benar, manis dan bermanfaat. Kalaupun benar, masih harus diteliti lagi, kalau hanya akan menimbulkan pertengkaran lebih baik dibatalkan. Berkata manis, yang bisa kita artikan dengan memilih-kalimat-terbaik-dalam-waktu-yang-paling-singkat, bagaimanapun juga harus dilakukan tanpa pamrih.

Lalu apa kaitannya berkata baik dengan “ajining diri” tadi? Dalam sosiolinguistik, ada yang disebut sosiolek atau dialek sosial, yaitu variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan dan kelas sosial para penuturnya. Variasi inilah yang kemudian menunjukkan semua masalah pribadi penuturnya, seperti usia, pendidikan, keadaan sosial ekonomi, pekerjaan, dan sebagainya. Rumusnya sederhana: semakin tinggi pendidikan atau status sosial seseorang di masyarakat, gaya berbicara yang digunakan sehari-hari semakin bagus atau bernilai, begitu juga sebaliknya.

Pernahkah kita mendengar orang yang dihormati di lingkungan kita memakai bahasa seenaknya saat bicara? Tentu tidak. Tanpa bermaksud menyama-ratakan, biasanya memang pengangguran yang kerjanya cuma menongkronglah yang sering ceplas-ceplos saat berbincang dengan rekan sepantarannya. Lagipula, Rasullullah SAW mengingatkan bahwa kalau tidak bisa berbicara yang baik, lebih baik diam. Dalam beberapa kasus, seperti tuntutan peran atau pekerjaan, kita mungkin perlu banyak bicara. Namun sekali lagi, kita perlu menjaga “ajining diri” tadi dengan tidak asal bicara, tapi bicara dengan aturan. []

13 comments:

  1. itu yang pasti bukan fotomu Cahyo. haha

    setuju sama dengan tulisan di atas. siapa bilang penampilan itu tidak penting. penampilan itu kan pintu untuk mengetahui siapa diri kita. siapa bilang juga tutur kata itu tidak penting. tutur kata itu yang menandakan intelektualitas kita.

    ReplyDelete
  2. Replies
    1. Iya Kak tapi bukan yg paling penting. Rapi kalau bego ya gimanaaa

      Delete
  3. Fotonya kok cakep *salkus*

    Salam kenal, kak! :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya dia rapi makanya cakep :D

      Salam kenal juga, Dek. Follow aja blogku kalau mau kenal penulisnya lebih jauh :)

      Delete
  4. Tulisannya keren kak! Blognya juga bagus. Tulisan ini saya suka banget.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih Dek. Boleh lho kalau mau follow blognya :D

      Delete
  5. Iya sih,,

    tidak bias berbicara baik, lebih baik diam.

    Tapi....... Susah juga dilakukannya.

    But, try to be the best lah ya :)

    Good posting !

    Yang mau berkunjung boleh :
    My Life Journey

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bener. Ini aja aku nulis padahal juga belum bisa menerapkan secara maksimal. Tapi yaa saling mengingatkan aja deh. :D

      Delete
  6. Ya juga sih 2-2nya penting dalam hal masing-masing tentunya

    ReplyDelete
  7. hi cahyo, keren deh tulisannya 👍

    ReplyDelete