"Aku nanti nggak bisa ngampus, titip absen ya?" adalah kalimat yang sangat menyebalkan bagi kalangan mahasiswa kompetitif, apalagi bila yang meminta tolong bukan seorang teman dekat. Balasan yang dilontarkan kadang juga tidak kalah menyebalkan, biasanya seperti ini : "wah sorry sms-mu baru aku buka, absennya udah lewat!"
Dialog di atas menggambarkan salah satu fenomena yang termasuk budaya popular di kalangan mahasiswa, yaitu titip absen. Hal tersebut biasanya dilakukan ketika seorang mahasiswa benar-benar tidak bisa hadir di kelas atau memang sedang malas kuliah. Pada umumnya seorang dosen membuat kebijakan bahwa mahasiswa harus hadir (mengisi absensi) minimal 75 persen dalam satu semester untuk dapat mengikuti ujian akhir. Itu berarti seorang mahasiswa diijinkan untuk satu-dua kali tidak mengikuti kuliah. Idealnya, kesempatan satu-dua kali tadi digunakan saat kita benar-benar tidak bisa datang ke kelas, seperti saat ada kerabat yang meninggal atau menjadi penanggung jawab sebuah seminar.
Bagaimanapun juga, ada sebagian mahasiswa yang kurang bijaksana dalam mengatur jumlah kehadirannya di kelas. Mereka terburu-buru menghabiskan jatah absennya untuk keperluan yang tidak penting. Ketika ada agenda mendesak, mereka baru sadar kalau sudah terlalu sering absen. Di situasi seperti itulah biasanya seorang mahasiswa meminta tolong temannya untuk menandatangani absensinya. Selain karena alasan terdesak, pertimbangan lain adalah masalah nilai. Ada dosen yang benar-benar memperhatikan jumlah kehadiran mahasiswanya sebagai pertimbangan untuk memberikan nilai. Dalam beberapa kasus, dosen memberikan bonus nilai untuk mahasiswa yang absensinya penuh. Karena alasan-alasan tersebut, terjadi fenomena titip absen seperti yang tertulis di awal.
Dalam satu sudut pandang, titip absen termasuk perbuatan korupsi, karena itu berarti kita memanipulasi data absensi kita. Dalam sudut pandang yang lain, tindakan tersebut menunjukkan bahwa kita sebagai manusia cenderung lebih mementingkan eksistensi kita sebagai mahasiswa daripada esensinya. Dalam ilmu filsafat, pola pikir seperti itu bisa dimasukkan dalam eksistensialisme. Di buku Persoalan-Persoalan Filsafat, Jean-Paul Sartre, seorang filsuf kontemporer dan juga seorang penulis Perancis, mendefinisikan manusia sebagai makhluk yang eksistensinya mendahului esensi.
Sartre, bagaimanapun, menciptakan argumen tersebut dengan melihat manusia secara umum. Jadi bila kita mengacu pada argumen tersebut, secara umum mahasiswa pergi ke kampus untuk kuliah hanya karena mempertahankan eksistensinya. Pagi sebelum kita ke kampus, yang kita pikirkan cuma bagaimana nanti mengikuti kelas dosen A, maju presentasi di kelas dosen B, atau mungkin besoknya mengikuti latihan kepenulisan di Majalah C. Ora kober, atau tidak sempat kita memikirkan alasan atau esensi sebenarnya kenapa kita melakukan semua itu. Apakah itu untuk belajar, ibadah, atau hanya karena kita dari SMA dan harus mengikuti jalur seperti yang orang-orang lain lakukan.
Ada sebagian kalangan mahasiswa yang sudah sadar mengenai permasalahan tersebut, mereka kemudian mencoba berlanjut dari hanya kuliah menuju tahap baru: masuk organisasi mahasiswa (UKM). Dalam tahap ini pun, masih banyak yang tidak mempunyai pandangan tentang tujuan organisasi masing-masing. Misalnya, banyak anak BEM yang ikut demo tapi tidak tahu apa alasannya berdemo, hanya ikut-ikutan. Hal tersebut lantas berpengaruh pada demonstrasi yang dilakukan, dari pencerdasan masyarakat turun ke pengingatan. Anak SKI menyelenggarakan acara seminar karena periode yang lalu juga menyelenggarakan hal yang sama. Anak LPM mengadakan latihan kepenulisan karena di situlah eksistensinya. Keadaan semacam itu telah menjadi mainstream.
Karl Marx, dalam bukunya The German Ideology mengatakan "men can be distinguished from animals by consciousness, by religion or anything else you like". Marx menunjukkan perbedaan antara manusia dengan binatang dalam hal bagaimana mereka bertindak. Binatang melakukan kegiatan sesuai insting dan perannya di bumi, sedangkan manusia bertindak atas kehendak dan kesadarannya. Kedua fenomena yang tertulis di paragraf sebelumnya menggambarkan hal yang mirip: bertindak tanpa kesadaran. Kita bisa mengumpamakan kampus sebagai miniatur kehidupan masyarakat yang sesungguhnya. Logika kasarnya, bagaimana kita akan hidup di masyarakat nantinya bila kita terbiasa dengan pola pikir mengikuti formalitas. Lantas apa bedanya kita dengan binatang?
Ada sebuah ungkapan terkenal yang diutarakan oleh Descartes, seorang filsuf ternama dari Perancis, yaitu cogito ergo sum yang artinya aku berpikir maka aku ada. Kita sebagai mahasiswa idealnya tidak hanya memikirkan bagaimana kita memainkan peran kita di kampus, tetapi juga memikirkan esensinya agar kita tetap ada. Dalam buku Se7en Heroes, salah satu definisi pahlawan adalah orang-orang yang memiliki dedikasi terhadap jalur profesi yang telah diambil dengan penuh kesadaran, bukan sekedar ikut-ikutan. Orang-orang seperti itulah yang akan mengubah dunia. Jadi tidak harus selamanya mengejar eksistensi, kita bisa memilih untuk beneran hidup. []
@cahyoichi_
Kasihan ya, bayar kuliah mahal2 aja bisa tapi ngisi absensi dengan benar aja gak bisa. Kasian sama yang nggak bisa kuliah tp punya tekad yang besar.
ReplyDelete