Blunder, benar-benar blunder -__-
Saya seharusnya sadar, hari pertama tarawih pasti jamaahnya
membludak.
Seperti biasa, saya baru bersiap ke masjid kalau sudah
mendengar adzan, begitu juga kemarin malam. Saya sadar kalau malam ini adalah shalat
Tarawih pertama (bagi warga yang mulai puasa hari Rabu), namun saya melupakan satu
poin penting: membludaknya jamaah. Kelakuan saya yang sering baru berangkat
setelah adzan selesai sepertinya memang sudah mendarah daging. Ditambah lagi, waktu
itu ada suatu hal yang membuat keberangkatan ke masjid tertunda sebentar.
Dan hasilnya sudah dapat ditebak. Ketika saya datang, sholat
Isya sudah dimulai, dan nyaris tidak ada tempat yang tersisa.
Saya akan sedikit menggambarkan situasi kemarin malam. Untuk
menampung jamaah tarawih yang melebihi kapasitas masjid (plus terasnya), di
halaman luar masjid digelar tikar. Tikar tersebut terdiri atas dua lapisan.
Lapisan bawah adalah kresek beras, bahan yang sama untuk membuat kresek beras,
bukan yang kain, tetapi yang gampang sobek itu. Lapisan bawah itu kemudian
untuk alas lapisan kedua, yaitu tikar biasa. Hal tersebut sudah dirancang agar
jamaah yang berada di halaman pun bisa sholat dengan nyaman.
Bagaimana pun, jumlah tikar biasa tidak sebanding dengan
kresek beras, *sayangnya* lebih sedikit. Maka dari itu, ada kresek beras yang
tidak tertutupi tikar.
Itu adalah bagian paling belakang sendiri… dan yang tersisa
saat itu.
Sebentar, ada yang belum paham soal kresek beras ini? Karena
bentuknya kresek, dan memang didesain sebagai alas, maka setiap sisinya sama.
Dengan kata lain, sisi yang atas ini barangkali (dan sudah pasti) kemarin
menjadi sisi yang bawah yang menyentuh aspal.
Oh iya, halaman yang saya maksud tadi adalah jalan aspal di
depan masjid. A-s-p-a-l.
Kresek dan aspal menjadi sajadah saya untuk tarawih, dan
langit sebagai atapnya. Keterlaluan, saya membiarkan diri ini sholat dengan
kondisi seperti itu. I’ve made a blunder which can’t be tolerated even by me
myself. *lebai mode: on*
Saya kemudian memikirkan jamaah yang ada di dalam masjid.
Sebagian besar “asing”, dalam artian, saya jarang melihatnya ke masjid. Tidak
bermaksud men-generalisasi, barangkali ada yang sholat di masjid lain, saya hanya
melihatnya dari orang-orang yang hampir selalu sholat berjamaah masjid Azzumar.
Karena sering ke masjid, bisa jadi sempat muncul perasaan kesal
terhadap orang-orang yang memenuhi masjid... hanya pada saat bulan Ramadhan.
Siapa sebenarnya orang-orang ini? Saya biasanya ada di dalam! -_-
Curang.
Akan tetapi, sesudah kesulitan selalu ada kemudahan (94:6).
Hal yang tak terduga terjadi. Memasuki rakaat ketiga, ada bapak-bapak yang
kemudian datang “menemani” saya di belakang sendiri. Beliau membawa sajadah
bagus dan lebar, kemudian menggelarnya secara horisontal… meliputi wilayah
sujud saya. Bapaknya baik sekali, sajadahnya wangi lagi.
Alhamdulillah, setelah itu saya bisa melewati tarawih hingga
witir dengan nyaman.
Itu adalah cerita malam kemarin. Malam ini tadi, saya berada
di shaf paling depan.
0 comments:
Post a Comment