Kita sampai pada sebuah pembahasan mengenai puasa setengah
hari, atau biasa disebut dengan puasa
mbedug.
Puasa Mbedug
adalah semacam puasa yang hanya dilakukan selama setengah hari, lebih spesifik
lagi, dari shubuh sampai dhuhur. Mbedug
sendiri berasal dari kata bedug, sudah tahu bedug kan? Nah itu.
Bedug biasa dibunyikan sebelum adzan berkumandang, semacam
pertanda untuk dibaca. Selama ini, saya jarang sekali melihat benda yang
disebut bedug ini *muncul* di masjid. Barangkali, bedug digunakan pada jaman
dulu ketika pengeras suara belum populer, sebagai tanda yang paling jelas dan
valid ketika suara adzan hanya terdengar samar-samar.
Sampai titik ini saya berasumsi bahwa pemakaian kata mbedug
sebagai nama puasa tersebut sudah terjadi sejak lama. Pertanyaan yang kemudian
muncul adalah bagaimana orang-orang dulu mengkorelasikan bedug *hanya* dengan
waktu dhuhur. Sebagai penanda waktu adzan, seharusnya ada juga bedug ashar atau
bedug magrib. Misteri Pertama.
Misteri yang berikutnya adalah mengenai teknis dari puasa
itu sendiri.
Tetapi sebelum itu, mari kita menyamakan persepsi kita:
puasa ini sudah jelas melanggar tuntunan syariah, karena memang tujuannya untuk
latihan. Sesingkat apapun (hitungan umur), saya yakin pasti setiap anak
melewati fase “latihan puasa” yang satu ini. Sebelum nanti secara bangga bisa
mengikuti orang tuanya untuk benar-benar berpuasa, sampai ke fase mainstream “berpuasa
sekeluarga”.
Kembali ke masalah misteri teknis puasa. Karena puasa ini
memang untuk latihan pribadi, maka dari itu hukum #SukaSukaYangMelakukan pun berlaku.
Namun biasanya anak-anak dalam hal ini *secara tidak sadar* diarahkan oleh
orang tua. Dengan kata lain, hak prerogatif hukum tersebut kemudian diakuisisi
oleh orang tua. Justru karena ketidak-fix-an aturan teknis tersebut, waktu
kecil saya tidak berhasil menemukan jawaban atas pertanyaan yang muncul dalam
teknis pelaksanaan puasa mbedug.
Pertanyaan pertama: Setelah berbuka (pada saat dhuhur), apakah
puasa kita berhenti atau lanjut lagi sampai magrib?
Saya sendiri tetap melanjutkan puasa sampai magrib, dan itu
sering membuat saya *semacam* iri dengan teman-teman yang melakukan opsi
pertama. Orang tua saya (ibu) waktu itu merekomendasikan saya untuk tetap
berpuasa setelah berbuka, yang bagi saya itu adalah perintah. Maka dari itu,
baik di rumah ataupun di rumah nenek, saya langsung berlari ke meja makan (atau
kulkas) ketika mendengar adzan dhuhur, seraya mengucapkan Alhamdulillah. Sama
bahagianya seperti ketika sekarang saya mendengar adzan Magrib.
Pun demikian dalam pelaksanaannya bukan tanpa hambatan. Ada
beberapa teman saya yang mengatakan kalau mereka tidak berpuasa setelah dhuhur.
Mungkin bagi mereka, buka ya buka, puasanya berhenti. Hal tersebut membuat iri
otak anak-anak saya. Meski demikian saya tidak bisa mendebat dengan argument yang
berarti, karena ya itu tadi, #SukaSukaYangMelakukan.
Seandainya waktu kecil saya bisa sediplomatis sekarang,
tentu saya dapat menjawab pertanyaan yang mengganggu itu: bahwa setiap
keputusan kembali ke pribadi masing-masing. Toh setiap opsi yang dipilih selalu
memiliki sisi Ying dan Yang. Ketika kita memilih untuk berhenti setelah dhuhur,
kita bisa menikmati kebebasan kita untuk bisa makan lebih awal. Di sisi lain,
bila kita memilih untuk melanjutkan berpuasa, latihan kita bisa lebih efektif.
Selain itu, bila kita kembali ke fakta bahwa waktu berbuka itu membahagiakan,
maka dengan berbuka dua kali berarti kita memiliki dua momen bahagia setiap
hari.
*mungkin salah satu alasan kenapa Ramadhan saat anak-anak
sangat-sangat menyenangkan*
Sudah 500an kata, berarti pembahasan mengenai pertanyaan
kedua di lain catatan saja, terima kasih.
#SukaSukaYangNulis
0 comments:
Post a Comment