Misteri Puasa Mbedug

Jul 16, 2013

Hari ini tadi salah satu sepupu saya datang ke rumah. Kami membicarakan banyak hal; diantaranya tentang puasa saat kecil.

Kita sampai pada sebuah pembahasan mengenai puasa setengah hari, atau biasa disebut dengan puasa mbedug.

Puasa Mbedug adalah semacam puasa yang hanya dilakukan selama setengah hari, lebih spesifik lagi, dari shubuh sampai dhuhur. Mbedug sendiri berasal dari kata bedug, sudah tahu bedug kan? Nah itu.
Bedug biasa dibunyikan sebelum adzan berkumandang, semacam pertanda untuk dibaca. Selama ini, saya jarang sekali melihat benda yang disebut bedug ini *muncul* di masjid. Barangkali, bedug digunakan pada jaman dulu ketika pengeras suara belum populer, sebagai tanda yang paling jelas dan valid ketika suara adzan hanya terdengar samar-samar.

Sampai titik ini saya berasumsi bahwa pemakaian kata mbedug sebagai nama puasa tersebut sudah terjadi sejak lama. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana orang-orang dulu mengkorelasikan bedug *hanya* dengan waktu dhuhur. Sebagai penanda waktu adzan, seharusnya ada juga bedug ashar atau bedug magrib. Misteri Pertama.

Misteri yang berikutnya adalah mengenai teknis dari puasa itu sendiri.

Tetapi sebelum itu, mari kita menyamakan persepsi kita: puasa ini sudah jelas melanggar tuntunan syariah, karena memang tujuannya untuk latihan. Sesingkat apapun (hitungan umur), saya yakin pasti setiap anak melewati fase “latihan puasa” yang satu ini. Sebelum nanti secara bangga bisa mengikuti orang tuanya untuk benar-benar berpuasa, sampai ke fase mainstream “berpuasa sekeluarga”.

Kembali ke masalah misteri teknis puasa. Karena puasa ini memang untuk latihan pribadi, maka dari itu hukum #SukaSukaYangMelakukan pun berlaku. Namun biasanya anak-anak dalam hal ini *secara tidak sadar* diarahkan oleh orang tua. Dengan kata lain, hak prerogatif hukum tersebut kemudian diakuisisi oleh orang tua. Justru karena ketidak-fix-an aturan teknis tersebut, waktu kecil saya tidak berhasil menemukan jawaban atas pertanyaan yang muncul dalam teknis pelaksanaan puasa mbedug.

Pertanyaan pertama: Setelah berbuka (pada saat dhuhur), apakah puasa kita berhenti atau lanjut lagi sampai magrib?

Saya sendiri tetap melanjutkan puasa sampai magrib, dan itu sering membuat saya *semacam* iri dengan teman-teman yang melakukan opsi pertama. Orang tua saya (ibu) waktu itu merekomendasikan saya untuk tetap berpuasa setelah berbuka, yang bagi saya itu adalah perintah. Maka dari itu, baik di rumah ataupun di rumah nenek, saya langsung berlari ke meja makan (atau kulkas) ketika mendengar adzan dhuhur, seraya mengucapkan Alhamdulillah. Sama bahagianya seperti ketika sekarang saya mendengar adzan Magrib.

Pun demikian dalam pelaksanaannya bukan tanpa hambatan. Ada beberapa teman saya yang mengatakan kalau mereka tidak berpuasa setelah dhuhur. Mungkin bagi mereka, buka ya buka, puasanya berhenti. Hal tersebut membuat iri otak anak-anak saya. Meski demikian saya tidak bisa mendebat dengan argument yang berarti, karena ya itu tadi, #SukaSukaYangMelakukan.

Seandainya waktu kecil saya bisa sediplomatis sekarang, tentu saya dapat menjawab pertanyaan yang mengganggu itu: bahwa setiap keputusan kembali ke pribadi masing-masing. Toh setiap opsi yang dipilih selalu memiliki sisi Ying dan Yang. Ketika kita memilih untuk berhenti setelah dhuhur, kita bisa menikmati kebebasan kita untuk bisa makan lebih awal. Di sisi lain, bila kita memilih untuk melanjutkan berpuasa, latihan kita bisa lebih efektif. Selain itu, bila kita kembali ke fakta bahwa waktu berbuka itu membahagiakan, maka dengan berbuka dua kali berarti kita memiliki dua momen bahagia setiap hari.

*mungkin salah satu alasan kenapa Ramadhan saat anak-anak sangat-sangat menyenangkan*

Sudah 500an kata, berarti pembahasan mengenai pertanyaan kedua di lain catatan saja, terima kasih.

#SukaSukaYangNulis

0 comments:

Post a Comment