Kekuatan Masing-masing Kita

Jun 17, 2013


Materi tentang kekuatan masing-masing individu, atau the power of body sudah lama saya dapatkan di kelas Media dan Budaya. Kalimat yang disampaikan oleh dosen waktu itu kurang lebih: "Kekuatan dan kekuasaan informasi kini tak lagi dikuasai pada redaksi, tetapi pada pribadi-pribadi”. Hal tersebut terkait dengan teknologi komunikasi dan informasi yang terus berkembang di masa sekarang, terutama internet. Internet memungkinkan kita untuk membagikan ide kita ke banyak orang, yang apabila bisa diterima masyarakat umum, ide kita akan bisa dicontoh dan dikembangkan.

Membahas tentang kekuatan individu, tidak perlu mengaitkannya dengan media-media besar seperti televisi atau film. Kita memiliki beberapa “senjata” yang selama ini sudah melekat pada diri kita, seperti facebook, twitter, blog, tumblr, google plus, atau jejaring sosial yang lain. Bagi orang yang memang sudah mengerti dan mencoba untuk menyalurkan ide-idenya lewat jejaring sosial, pembahasan seperti ini mungkin sudah sangat biasa. Namun obrolan kami dengan Warmin, Wakil Pemimpin Redaksi (wapimred) Solopos beberapa waktu yang lalu menimbulkan sebuah sensasi baru dalam pikiran saya mengenai hal ini.


Sang wapimred berkata, “kalau kalian ingin mengabarkan suatu berita penting, bisa langsung mention twitter saya”. Oke, saya mengerti. Masing-masing dari kita bisa menyumbangkan ide bahkan untuk surat kabar sekelas Solopos. Ini mungkin ada kaitannya dengan citizen jurnalism dengan setiap sisi baik dan buruknya. Kini setiap orang bisa menciptakan headline, bukti yang paling dekat dengan kita adalah fitur Trending Topic di twitter. Fitur tersebut membenarkan pernyataan bahwa ketika kita menawarkan atau mengangkat sebuah isu, dan bisa diterima (di-retweet) oleh orang banyak, maka isu itu akan ter-blow up dengan sendirinya.

Bersamaan dengan semakin bebasnya setiap individu untuk membuat sebuah berita, yang perlu diperhatikan juga adalah mengenai keberagaman nilai berita yang dihasilkan. Saya menjadi ingat sebuah candaan dosen: bayangkan ketika kita mengajak beberapa teman kita untuk mengatakan “Solo gempa” di twitter, orang bisa saja percaya, hanya karena ada banyak orang yang mengatakannya. Dengan cara yang sama, kita bisa membayangkan apa yang mungkin dipikirkan oleh sang wapimred bila ada banyak orang janjian secara kompak me-mention-nya dengan “berita” yang sama.

“Tidak perlu ada gate keeper”, kata dosen saya waktu menjelaskan tentang bagaimana berita bisa berkembang di jejaring sosial tanpa melewati proses editorial. Dengan begitu, ketika kita ingin menyebarkan sebuah isu, pertanyaan yang tersisa adalah apakah kita memang akan menekan tombol post atau tidak. Masing-masing dari kita akan menjadi editor dari artikel kita sendiri, tanpa ada tekanan dari pihak manapun, hanya kita dan idealisme kita. Pun demikian kita perlu memperkirakan efek dan akibat yang akan terjadi sebagai pertimbangan apakah sesuatu itu layak untuk dibagikan ke publik atau tidak.

Kebanyakan dari pengguna jejaring sosial belum bisa membedakan antara ranah publik dan privasi. Di lautan digital, sebagian orang membagikan hal-hal yang sebenarnya lebih patut untuk konsumsi pribadi, baik itu lewat status facebook, tweet, atau tulisan di blog. Selain mengganggu kenyamanan pengguna internet yang lain, menyalahgunaan fasilitas jejaring sosial juga berarti meminimalisasi kemampuan yang kita miliki, secara individu maupun kelompok. Eksistensi kita di jejaring sosial hanya sebatas konsumen dan target pasar dari pengusaha media tersebut. Maka dari itu, perlu usaha aktif untuk meningkatkan peran jejaring sosial sebagai media untuk melawan ide-ide dominan yang sarat kepentingan.

Asumsikan saya menangkap kalimat yang disampaikan wapimred tadi sebagai, “ayo, setiap orang memiliki kesempatan untuk bersuara di media, memberikan alternatif berita yang bisa dibaca banyak orang”. Saya membayangkan sebagai "pilar keempat" dari sebuah demokrasi, media massa akan lebih bisa menampung suara tiap individu yang tinggal di bangsa ini. Dengan semakin melokalnya teknologi informasi dan komunikasi, kita bisa membagikan ide-ide kita secara global.

Kembali ke pernyataan awal, bila kita menyadari bahwa kekuatan informasi kini telah beralih dari manusia-manusia redaksi menjadi masing-masing pribadi, yang perlu kita lakukan adalah menjadi pembaca dan pengguna internet yang cerdas. Perahu-perahu informasi yang ditawarkan di lautan digital bisa mengantarkan kita ke tujuan, namun ada juga yang bisa menyesatkan dan mengombang-ambingkan kita. Dengan bergantinya era dari orang-orang tua ke generasi digital, kita bisa membayangkan perubahan yang akan terjadi pada “pilar keempat” tadi.

1 comment:

  1. Sekarang banyak akun pribadi jadi tolok ukur berita karena seringnya share berita, walaupun orang itu tak jauh2 duniannya dari dunia pembuat berita, jadi kalo orang sekaliber gue mau nulis berita dengan akun pribadi gue effectnya ga begitu besar, , ,


    nebeng akun akun anonim yang lebih terpercaya ...

    ReplyDelete