Materi tentang kekuatan
masing-masing individu, atau the power of
body sudah lama saya dapatkan di kelas Media dan Budaya. Kalimat yang
disampaikan oleh dosen waktu itu kurang lebih: "Kekuatan dan kekuasaan
informasi kini tak lagi dikuasai pada redaksi, tetapi pada pribadi-pribadi”.
Hal tersebut terkait dengan teknologi komunikasi dan informasi yang terus
berkembang di masa sekarang, terutama internet. Internet memungkinkan kita
untuk membagikan ide kita ke banyak orang, yang apabila bisa diterima
masyarakat umum, ide kita akan bisa dicontoh dan dikembangkan.
Membahas tentang kekuatan
individu, tidak perlu mengaitkannya dengan media-media besar seperti televisi
atau film. Kita memiliki beberapa “senjata” yang selama ini sudah melekat pada
diri kita, seperti facebook, twitter, blog, tumblr, google plus, atau jejaring
sosial yang lain. Bagi orang yang memang sudah mengerti dan mencoba untuk menyalurkan
ide-idenya lewat jejaring sosial, pembahasan seperti ini mungkin sudah sangat
biasa. Namun obrolan kami dengan Warmin, Wakil Pemimpin Redaksi (wapimred)
Solopos beberapa waktu yang lalu menimbulkan sebuah sensasi baru dalam pikiran
saya mengenai hal ini.
Sang wapimred berkata, “kalau
kalian ingin mengabarkan suatu berita penting, bisa langsung mention twitter saya”. Oke, saya
mengerti. Masing-masing dari kita bisa menyumbangkan ide bahkan untuk surat
kabar sekelas Solopos. Ini mungkin ada kaitannya dengan citizen jurnalism dengan setiap sisi baik dan buruknya. Kini setiap
orang bisa menciptakan headline,
bukti yang paling dekat dengan kita adalah fitur Trending Topic di twitter.
Fitur tersebut membenarkan pernyataan bahwa ketika kita menawarkan atau
mengangkat sebuah isu, dan bisa diterima (di-retweet) oleh orang banyak, maka isu itu akan ter-blow up dengan sendirinya.
Bersamaan dengan semakin bebasnya
setiap individu untuk membuat sebuah berita, yang perlu diperhatikan juga
adalah mengenai keberagaman nilai berita yang dihasilkan. Saya menjadi ingat
sebuah candaan dosen: bayangkan ketika kita mengajak beberapa teman kita untuk mengatakan
“Solo gempa” di twitter, orang bisa saja percaya, hanya karena ada banyak orang
yang mengatakannya. Dengan cara yang sama, kita bisa membayangkan apa yang
mungkin dipikirkan oleh sang wapimred bila ada banyak orang janjian secara kompak me-mention-nya dengan “berita” yang sama.
“Tidak perlu ada gate keeper”, kata dosen saya waktu
menjelaskan tentang bagaimana berita bisa berkembang di jejaring sosial tanpa
melewati proses editorial. Dengan begitu, ketika kita ingin menyebarkan sebuah
isu, pertanyaan yang tersisa adalah apakah kita memang akan menekan tombol post atau tidak. Masing-masing dari kita
akan menjadi editor dari artikel kita sendiri, tanpa ada tekanan dari pihak
manapun, hanya kita dan idealisme kita. Pun demikian kita perlu memperkirakan
efek dan akibat yang akan terjadi sebagai pertimbangan apakah sesuatu itu layak
untuk dibagikan ke publik atau tidak.
Kebanyakan dari pengguna jejaring
sosial belum bisa membedakan antara ranah publik dan privasi. Di lautan
digital, sebagian orang membagikan hal-hal yang sebenarnya lebih patut untuk
konsumsi pribadi, baik itu lewat status facebook, tweet, atau tulisan di blog. Selain mengganggu kenyamanan pengguna
internet yang lain, menyalahgunaan fasilitas jejaring sosial juga berarti
meminimalisasi kemampuan yang kita miliki, secara individu maupun kelompok.
Eksistensi kita di jejaring sosial hanya sebatas konsumen dan target pasar dari
pengusaha media tersebut. Maka dari itu, perlu usaha aktif untuk meningkatkan
peran jejaring sosial sebagai media untuk melawan ide-ide dominan yang sarat
kepentingan.
Asumsikan saya menangkap kalimat
yang disampaikan wapimred tadi sebagai, “ayo, setiap orang memiliki kesempatan
untuk bersuara di media, memberikan alternatif berita yang bisa dibaca banyak
orang”. Saya membayangkan sebagai "pilar keempat" dari sebuah
demokrasi, media massa akan lebih bisa menampung suara tiap individu yang
tinggal di bangsa ini. Dengan semakin melokalnya teknologi informasi dan
komunikasi, kita bisa membagikan ide-ide kita secara global.
Kembali ke pernyataan awal, bila
kita menyadari bahwa kekuatan informasi kini telah beralih dari manusia-manusia
redaksi menjadi masing-masing pribadi, yang perlu kita lakukan adalah menjadi
pembaca dan pengguna internet yang cerdas. Perahu-perahu informasi yang
ditawarkan di lautan digital bisa mengantarkan kita ke tujuan, namun ada juga yang
bisa menyesatkan dan mengombang-ambingkan kita. Dengan bergantinya era dari
orang-orang tua ke generasi digital, kita bisa membayangkan perubahan yang akan
terjadi pada “pilar keempat” tadi.
Sekarang banyak akun pribadi jadi tolok ukur berita karena seringnya share berita, walaupun orang itu tak jauh2 duniannya dari dunia pembuat berita, jadi kalo orang sekaliber gue mau nulis berita dengan akun pribadi gue effectnya ga begitu besar, , ,
ReplyDeletenebeng akun akun anonim yang lebih terpercaya ...