Puisi Memang Tidak Harus Berima

Mar 23, 2013

“Cahyo itu di sana diskusinya dengan ukhti-ukhti .“

Kata salah seorang temanku sambil tertawa ketika kami membicarakan keikutsertaanku di pelatihan menulis majalah Embun. Biasanya aku bisa membalas setiap gurauan yang dia lontarkan terutama kalau soal ukhti, tetapi tidak untuk kali ini. Aku melihat sesuatu yang lain dalam gurauannya dan menjawab, “Berarti kamu lihat pamflet yang aku share di facebook ya?”

Menyoal ukhti di pelatihan ini, selain ada beberapa yang berada di tim redaksi, dari pesertanya sendiri pun ada tujuh. Hanya ada tiga dari sepuluh peserta itu membuat kaumku menjadi minoritas. Perasaan yang kalian kaum mayoritas tidak akan bisa rasakan itu semakin terasa saat Dede dan Nuryanto tidak kunjung datang. Itu terjadi pada pertemuan kali ini, dimana aku harus terpojok sendirian.

Situasi seperti itu membuat aku terpikir akan sesuatu, kenapa aku berada di tim yang lebih banyak wanitanya. Tersadar bahwa majalah Embun adalah majalah keluarga, aku teringat materi gender di perkuliahan. Gender di sini tentang feminin dan maskulin, bukan laki-laki dan wanita. Feminin itu hubungannya dengan urusan rumah tangga atau keluarga, sementara maskulin hubungannya dengan ranah publik. Hal-hal tersebut kemudian membuatku bertanya pada diri sendiri, apakah itu berarti aku penulis yang feminin?

Seperti pada diskusi-diskusi sebelumnya, baik di dunia nyata atau di facebook, pertemuan tanggal 23 Maret di Rumah Embun ini juga memberikan pelajaran baru. Hari ini aku sadar bahwa aku ternyata aku tidak sehebat yang aku kira. Tulisanku begitu parah seakan buku EYD yang aku beli kemarin malu dan pergi mencari pemilik baru. Konon, susunan paragraf tulisanku tidak ideal, sebagian paragraf terlalu “kaya” dan harus berbagi ke paragraf yang lain.Tulisannya menjadi kurang dalam karena ada beberapa inti kalimat yang seharusnya bisa dipecah ke beberapa paragraf. Selain itu, meskipun masuk kategori opini, data yang aku masukkan untuk mendukung argumenku kurang dan bahkan tidak koheren.

Ini sudah reportase pertemuan Soto Babat ketiga yang aku buat dan irama tulisannya selalu seperti ini. Entah bagaimana, tangan ini belum juga bisa membuat tulisan yang seperti punya Eti. Aku terlalu lama menggunakan gaya seperti ini di blog sehingga yang aku tahu adalah tulisan itu tidak harus “berima”. Setiap selesai menulis, aku sering terlalu tinggi menilai tulisanku dan merasa kalau itu sudah cukup bisa membuat pembaca tercerahkan atas suatu hal. Sampai tadi Isna mengomentari kalau tulisanku tidak readable, kurang terstruktur, menjemukan, dan tidak menarik. Seharusnya aku diam saja tadi waktu Elva bertanya soal kelebihan tulisanku.

Bagaimanapun juga selalu ada dualisme dalam sebuah cerita, ada yin dan yang. Di samping hal-hal negatif tentang tulisanku, Avi Ramadhani bilang kalau dia punya karakter tulisan yang mirip denganku. Tulisan feature sederhana seperti ini akan membuat aku punya banyak ide untuk menulis. Aku selalu setuju dengan pendapat Rizal Fikry, salah satu kakak tingkat sekaligus orang yang berpengaruh dalam hobi blog-ku. Dia berkata, “akan lebih mudah untuk membuat orang terpesona kalau dia juga seorang blogger”. Beberapa kakak tingkatku memang blogger dan sering mampir memberi komentar positif ke blog-ku, meskipun tulisanku waktu itu jauh lebih tidak jelas dan tidak berideologi. Seperti saat orang seni rupa membuat sebuah karya seni, hanya orang-orang yang mengerti seni lah yang akan menilai karya itu berharga. Barangkali sesulit dan sekeras apapun orang itu berusaha untuk membuat karya yang bagus, hal tersebut tidak cukup. “Blogmu isinya curhatan semua ya?” adalah komentar kedua paling menyebalkan yang pernah aku terima setelah “kamu nulis diary ya”. Sebuah kebahagiaan tersendiri mendengar komentar Avi Ramadhani tersebut di tengah pertemuan yang berakhir menjemukan seperti tadi.

Selain memperbaiki cara menulisku yang sekarang, pada akhirnya nanti aku juga akan memiliki gaya menulis yang baru. Puisi memang tidak harus berima, tetapi itu hanya salah satu cara dalam menulis puisi. Mempelajari dan mencoba gaya menulis baru adalah sebuah keniscayaan. Namun aku akan tetap pergi jalan-jalan, mampir ke warung makanan, bermain sepak bola, rapat bersama teman-teman, dan menulis tentang itu semua.

Hari ini aku belajar, besok aku mengajarkan.
@cahyoichi_

0 comments:

Post a Comment