Minggu, 24 Februari 2013 ini adalah pertemuan perdana antara 10
orang yang entah bagaimana lolos seleksi pelatihan Soto Babat dengan
teman-teman redaksi majalah Embun. Aku katakan “entah bagaimana” karena waktu
itu aku agak terburu-buru mengerjakan artikel yang akan aku kirim karena waktu
itu, seperti biasa, sudah beberapa jam sebelum deadline. Kesan standar pertama
yang muncul adalah senang, karena bertemu langsung dengan Kang NasSirun
PurwOkartun, yang selama ini cuma lihat statusnya. Aku adalah salah satu orang
yang tidak bisa serta merta menilai seseorang dari statusnya, makanya aku harus
benar-benar melihat karakter Kang Nas baik-baik. Dari sekian banyak wejangan
yang beliau berikan pada hari ini, aku lebih bisa menilai dari bagaimana beliau
memperlakukan putranya. Meski Ahya agak “pecicilan”, tapi Kang Nas tidak pernah
lebay. Selama ini sering ketemu Ibu-ibu yang kalau putranya tidak bisa “menjaga
image” di tempat umum pasti langsung dimarahi, padahal masih kecil. Duh, selama
ini aku terlalu sering melihat contoh yang tidak baik.
Kesan tersembunyi yang lain muncul saat sesi perkenalan. Lewat
intonasi dan pilihan katanya (misal: jual diri) saat mengajak para peserta
untuk bercerita lebih jauh mengenai dirinya, Avi Ramadhani, Ibu Redaktur
Pelaksana Embun Majalah Keluarga, seakan melakukan semacam observasi untuk
mengetahui lebih jauh mengenai kemampuan / kelebihan tiap peserta. Didukung dengan
pernyataan Esty tentang kesempatan peserta yang memang “layak” dan berkomitmen
untuk bisa berproses di majalah Embun, barangkali memang ada semacam
perekrutan. Sejurus setelah setiap peserta mengetahui tentang hal ini, bukan
tidak mungkin akan ada irama persaingan. Kalau seperti itu berarti aku harus
terus menasehati diri sendiri untuk tetap kalem, karena kalau tergesa-gesa
melangkah mungkin ada beberapa hal yang terlewatkan. Pikir, tugas diberikan
setiap pertemuan, berarti bisa saja tugasnya itu membuat artikel kerja-sama.
Kang Nas menyebutkan soal pentingnya waktu bagi seseorang yang
bekerja di media. Aku sendiri di media kampus tapi sebelum ini masih sangat
payah dalam pengaturan waktu, misal dalam penerbitan buletin atau majalah.
Benar kata kang Nas, bahwa terlalu banyak pemakluman dan pemaafan di media
kampus. Hari ini aku belajar, besok aku mengajarkan. Dengan menerima setiap
orang yang aku temui di pelatihan sebagai guru, termasuk Ahya. Mudah-mudahan
aku bisa menularkan sesuatu yang aku terima ke teman-teman yang tempo hari
bilang “ntar ilmunya di-share ya mas”
Ada Esty juga |
Di penutupan acara, Kang Nas bercerita panjang lebar tentang
pengalaman masa mudanya bersama buku. Kang Nas bilang kalau koleksi bukunya
sudah mencapai 10.000, aku tidak tahu jumlah koleksi buku sebanyak itu ternyata
ada juga di dunia ini. Lewat cerita tersebut Kang Nas berpesan agar kita senang
membaca, menikmati apa yang kita baca. Banyak orang pintar yang kutemui selalu
menganjurkanku untuk banyak membaca, Mas Tori, Pak Yuyun, Bu Fitria. Aku ingat
bahwa aku sebenarnya gemar sekali membaca waktu SD, Kepala Sekolah waktu itu
sempat bilang kalau aku kutu buku. Tapi entah bagaimana semakin kesini “bakat”
itu semakin menguap. Mungkin aku keseringan browsing jadi meninggalkan buku. Kalau
waktu kecil aku punya “bakat” seperti itu tadi, aku tinggal menemukannya lagi.
Satu lagi hal yang mesti kupelajari
adalah bagaimana menjadi “keluarga” yang bahagia, harmonis dan kompak, seperti
Embun. Aku sudah pernah bilang kalau aku
kadang merasa terlalu merdeka yang bahkan ketika berada di sebuah tim dengan
visi yang sama, iramaku kadang berbeda. Mungkin aku salah menempatkan ego. Maka
dari itu, sisi jahatku, marilah kita belajar untuk lebih bisa bekerja sama.
@cahyoichi_
0 comments:
Post a Comment