oleh Cahyo Adi Nugroho
Renno Wibisono, seorang mahasiswa sastra semester 4 di sebuah kampus terkenal di Ibukota, baru beberapa detik yang lalu tiba di parkiran kampusnya. Pikirannya masih kacau, bergadang sampai jam setengah empat pagi hampir membuat kepalanya meledak. Karena alasan itu pula dia telat bangun. Beruntunglah Wibi punya kecepatan mandi di atas rata-rata, hingga entah bagaimana secara brutal dia berhasil sampai di kampus sepagi ini.
Wibi, begitulah teman-temannya memanggilnya, sebenarnya dia tidak terlalu suka dipanggil seperti itu, seperti perempuan saja katanya. Sejak pertama kali dipanggil Wibi, dia merasa gila, sampai sekarang. Tapi bagaimanapun dia harus mulai menerima nama tersebut. Sesuatu memang kadang harus dibiarkan mengalir.
Kampus masih begitu sepi, sesuai prediksi Wibi. Belum ada sesuatu yang mencurigakan. Semua bersih. Tangan Wibi juga masih bersih. Dia melihat ke layar HP, masih bersih, tidak ada pesan masuk. Semua aman, saatnya bagi Wibi untuk menjalankan rencana, pergi ke kantin untuk menemui seseorang. Wibi bersiap-siap melangkah, sampai akhirnya dia kaget ketika ada seseorang yang menyapanya.
“Hai Wibi!”
Suara sapaan yang selalu bisa membuat Wibi meleleh. Tapi tidak kali ini. Wibi cepat sadar dan langsung membalik badan. Tampak seorang mahasiswi anggun berdiri di depan Wibi. Wibi bingung. Dia memang mau bertemu dengannya, tapi tidak di sini. Ini tidak sesuai rencana. Tapi bagaimanapun Wibi berusaha untuk tetap bersikap biasa, dan ternyata gagal.
“Sher? kamu kok nunggu di sini? Udah lama?” tanya Wibi. Begitu sok manis sehingga kata-kata yang keluar dari mulutnya terdengar dramatis, bahkan di telinga Sherina Distriana Mega Kiswari, si pemilik suara, yang juga teman satu jurusan Wibi, yang juga anak sastra.
“nggak kok Wib, baru aja” jawab Sherry
“oh, oke, ayo ke kantin, cepet.” lanjut Wibi, yang cuma dibalas dengan senyum oleh Sherry.
Mereka berdua lantas beranjak dari tempat itu, menuju kantin. Dari mukanya saat itu saja bisa ditebak bahwa perasaan Wibi sedang berbunga-bunga. Memang benar yang mereka katakan. Cinta, benci, senang, dan sedih bisa sewaktu-waktu terjadi, termasuk sesaat setelah kita parkir motor di parkiran kampus.
****
Cerita bermula dari kemarin malam. Ketika Wibi mendapat kiriman sms sapaan dari Sherry.
“malem, Wib.”
Wibi sedang sibuk, seperti biasa, setidaknya itu menurutnya. Wibi sedang mengerjakan poster untuk publikasi kegiatan UKMnya yang paling update. Dia sedang asyik memainkan kombinasi efek di Corel Draw, dalam keadaan seperti itu tiap jari di tangannya seperti punya mata. Butuh sekitar 3 menit bagi Wibi untuk akhirnya meraih hape yang sebenarnya ada di samping keyboard komputernya, sepersekian detik melihat nama pengirimnya dan lalu mengetik sesuatu.
“mlm juga Sher, aku sedang sibuk lhoo”
Wibi lalu melanjutkan pengerjaan poster. Begitu kaku, pada dasarnya anak itu memang tidak suka sms-an. Itu tadi kalau bukan Sherry yang mengirim mungkin tidak akan Wibi balas. Wibi memang spesies orang yang sangat menyenangkan di dunia nyata dan entah bagaimana sangat menyebalkan di dunia maya, termasuk di sms. Pernah suatu kali HPnya hilang di sebuah bis dan untuk beberapa hari dia malah begitu lega menjalani hari tanpa HP. Wibi memang tinggal di rumah, bukan di kos, jadi tidak masalah baginya bila itu dikaitkan dengan bagaimana ia nanti menghubungi orang tuanya. Kalau bukan karena Sherry selalu mengirimkan wall di facebooknya, yang mana kontennya lebih pantas bila dikirimkan lewat sms, atau kadang kontennya berbunyi seperti: Wibi kapan mau punya hape lagi, Wibi aku pengen sms, dan lain-lain. Hingga akhirnya Wibi membeli hape lagi, dia tidak mungkin membiarkan Sherry sendirian lebih lama lagi di kampusnya yang begitu besar itu.
“iya Wib, aku tau, aku cuma mau ngajak makan d kantin besok pagi”
“oke,”
“bener lho, pokoknya besok ga boleh ada rapat!”
“iyaaa.. :))”
“haha, yaudah, jng capek2 yaa..”
Tidak ada balasan lagi dari Wibi, tapi itu sudah cukup untuk Sherry. Dia mengerti, Wibi sudah cukup menelan rasa egoisnya untuk membalas beberapa sms darinya. Sherry juga paham tentang emotikon senyum yang Wibi selipkan pada pesan terakhirnya tadi. Sherry sendiri yang pernah bilang ke Wibi, semakin banyak tanda kurung tutup yang ada di emotikon senyum, berarti semakin senang perasaan seseorang. Dia tahu kalau Wibi tidak akan bisa 100% berjanji kalau di ajak main, bahkan untuk dirinya.
Wibi itu aktivis labil, dia aktif di 3 organisasi mahasiswa. Melakukan aksi di sana-sini. Tapi meski begitu Wibi bisa menunjukkan betapa kerennya dia dengan menjaga nilai akademisnya. Dengan kondisi seperti itu, akan sangat sulit bagi Sherry untuk mengajak Wibi pergi bermain di semester ini. Tapi Sherry sendiri adalah wanita cerdas, beruntung bagi Wibi karena Sherry begitu pengertian, Sherry sendiri yang menempatkan dirinya di prioritas ketiga Wibi di kampus, setelah kuliah dan organisasi.
Waktu berlalu. Jam weker di meja belajar Wibi terus berdetik, dan kini sudah menunjukkan jam 3 pagi. Wibi bukannya belum tidur, dia manusia, jam segitu harusnya dia sudah terlelap. Tapi malam ini beda, ajakan sarapan bareng dari Sherry tadi seperti kopi susu kesukaannya yang selalu bisa membuatnya bangun.
****
Wibi itu ketua kelas, dan seharusnya itu yang harusnya jadi alasan ketika dia beli hape lagi. Tapi entahlah, Wibi adalah ketua kelas dengan tingkat kepedulian pada kelas terendah di dunia. Apalagi cuma masalah kecil seperti seluruh anak di kelasnya tidak mendapat informasi dari dosen lewat sms, kalaupun seluruh anak di kelasnya mati saja dia mungkin masih akan bersikap biasa.
Wibi memang berada di lingkungan kelas yang cukup membuat batinnya tertekan. Teman-temannya di kelasnya kebanyakan hedonis, itu persepsi subyektif Wibi. Sebagian besar teman-temannya memang bukan aktivis labil seperti dirinya, dan setiap hari setelah pulang kuliah kerjaan mereka hanya pergi main dan jajan. Benar-benar bertolak belakang dengan nilai-nilai kesederhanaan yang sering Wibi terima dari teman-teman organisasinya. Kehidupan seperti itu mengingatkan Wibi pada masa lalunya saat dia masih semester satu, dan dia benci pengingat.
Suatu ketika Wibi pernah membicarakan hal itu pada Sherry. Saat itu masih awal semester tiga dan belum ada tugas-tugas berarti. Wibi masih bisa bebas pergi kencan dengan Sherry.
“Kenapa sih teman-teman pada ga mau ikut UKM?” kata Wibi.
“Lha terus kenapa? mungkin temen-temen mau konsen ke kuliah”
“Konsen ke kuliah? Tapi nilaiku juga bagus, bahkan lebih bagus dari mereka”
Sherry masih melanjutkan makan, mencoba mendengarkan Wibi lebih jauh.
“Apa karena aku terlalu keren ya” sambung Wibi dengan setengah tertawa.
“Hash pede!” jawab Sherry.
“Nggak, kayaknya ga seru banget kuliah mulu, nggak menyenangkan…”
“hei!” sahut Sherry
“kesenangan itu relatif, Wib. Kita itu relatif”
“ya, ya, ya, aku tahu Sher, dari dulu jawabanmu selalu seperti itu”
“ya emang seperti itu kan, haha!”
“lucu? lucu?” sahut Wibi, yang kemudian meneruskan makannya yang tadi sempat tertunda, dia memang belum terbiasa berpikir sambil makan.
Kata-kata terakhir dari Wibi itu malah membuat Sherry tertawa lebih keras. Hingga beberapa saat kemudian keduanya berhenti tertawa dan suasana menjadi hening. Sampai salah satu dari mereka memulai lagi pembicaraan. Sama seperti pada kencan yang sudah-sudah, percakapan setelah itu akan lebih romantis. Pasangan muda, selalu melodramatis.
****
Suasana kantin masih sepi. Masih terlalu pagi. Udara masih terasa dingin, dan semakin dingin ketika suasana semakin tenang. Tapi itu semua tidak merubah apapun. Sudah 15 menit berlalu sejak Wibi dan Sherry bertemu di parkiran tadi dan mulai ngobrol di kantin. Wibi belum juga menunjukkan sikap romantis. Dia malah sesekali sibuk membaca jarkom sms di HPnya. Sampai ketika Sherry memotong percakapan,
“Jadi gimana?” tiba-tiba Sherry bertanya di luar pembicaraan.
Wibi masih sibuk membaca sms jarkom dari menterinya.
“Wibi…” ucap Sherry dengan nada yang lembut.
“hah? Oh maaf, apanya yang gimana?” kata Wibi dengan polos, dengan lugu, dengan lucu.
“Gimana hubungan kita ke depannya?”
“Hubungan apa lhoo?” kata Wibi sambil mengacak-acak rambut Sherry dengan setengah tertawa. Mereka pun saling tersenyum ketika untuk beberapa detik mata mereka bertemu.
“Duluan ya aku mau ke BEM dulu, ada rapat mendadak, udah di-sms dari tadi!” kata Wibi sambil berjalan pergi meninggalkan Sherry yang ketika terakhir dilihatnya masih tersenyum. Perasaan Sherry tampaknya memang tidak bisa direvisi. Dia itu tahu kalau Wibi itu miliknya dan itu memang benar. Kalimat terakhir yang diucapkan Wibi seperti puzzle yang secara sepintas bisa langsung dia pecahkan. Dia seperti bisa mendengar Wibi berkata “Sabar ya sayang, ini semua demi karir dulu, nanti pasti ada waktunya sendiri kok” ditambah emotikon senyum dengan sembilan kurung tutup.
Wibi masih terus berjalan, kalau ada frase yang lebih baik dari berbunga-bunga maka itulah yang sedang ada di hatinya. Saat itu Wibi seperti pria di film action yang berjalan keren membelakangi bangunan yang meledak, dengan iringan musik alternative-rock. Sementara di belakangnya, Sherry masih duduk, tersenyum, dan terlihat sempurna.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Ini fiksi? atau based on true story?
ReplyDeletekenapa sih ya, cowok nggak suka ngasih kepastian? :x *ups
ga sepenuhnya fiksi :D
ReplyDelete.ga tau, yg aku tau, cowok itu, klo liat yg lebih bagus, yg lama ditinggalin.