Kemarin, saya lihat beberapa masjid dekat rumah sudah mulai
mempersiapkan prosesi penyembelihan hewan kurban. Masjid Az Zumar sudah
memasang kajang di jalan depannya; untuk berteduh bapak-bapak yang memotong dan
membagi daging. Masjid Darusallam sudah memasang tiang pancang, kemungkinan
untuk menggantung kambing untuk dikuliti. Semuanya disiapkan sebaik mungkin
untuk menyambut hari raya kedua umat Islam: Idul Adha.
Ini hari Jumat, dan kemungkinan besar khutbah Jumat di
tempatmu tadi sudah membahas tentang Lebaran Haji. Karenanya, tulisan ini tidak
akan membahas secara dalam tentang itu. (Sebenarnya lebih karena keterbatasan
ilmu yang saya miliki). Saya akan membahas hal yang lain saja. Atau lebih
tepatnya, saya akan membahas tentang orang lain. Ini tentang seseorang, yang
atas settingan Tuhannya, menjadi inspirasi bagi kita dalam melaksanakan ritual
ibadah haji dan kurban: Nabi Ibrahim AS.
Saya ingin berbagi sesuatu tentang Nabi Ibrahim yang belum
diketahui secara umum, atau mungkin orang sudah mengetahuinya tapi dengan
pemahaman yang keliru. Pertama, kita tahu bahwa Ibrahim melihat matahari lalu
berucap “Inilah Tuhanku”, lalu ketika matahari terbenam beliau membatalkan
argumennya sendiri dengan berkata “Oh dia terbenam, dan Tuhan tidak terbenam”.
Ibrahim lalu melakukan hal yang sama pada bulan. Intinya, beliau seperti orang
yang kebingungan dalam mencari Tuhan.
Saya ingin mengklarifikasi , bahwa Ibrahim tidak seperti yang sebagian orang pikirkan. Saya percaya, sebagai nabi, Ibrahim adalah salah satu orang paling cerdas yang pernah ada di muka bumi. Saya yakin kisah itu tidak secara literal menggambarkan bahwa Ibrahim melihat matahari dan menjadi sebegitu takjubnya hingga mulai menyembahnya. Dia tidak mungkin, secara bodoh, tidak menyadari bahwa matahari akan tenggelam saat senja.
Saya ingin mengklarifikasi , bahwa Ibrahim tidak seperti yang sebagian orang pikirkan. Saya percaya, sebagai nabi, Ibrahim adalah salah satu orang paling cerdas yang pernah ada di muka bumi. Saya yakin kisah itu tidak secara literal menggambarkan bahwa Ibrahim melihat matahari dan menjadi sebegitu takjubnya hingga mulai menyembahnya. Dia tidak mungkin, secara bodoh, tidak menyadari bahwa matahari akan tenggelam saat senja.
Bisakah kita membayangkan seorang Nabi berkata, “Oh, aku
tidak tahu ternyata matahari bisa tenggelam! Aku tidak bisa menyembahnya kalau
begitu”. Lalu menjelang malam tiba-tiba berkata, “Oh, tapi bulan begitu
bersinar! Ini pasti Tuhan!” lalu paginya membatalkan lagi kalimat itu setelah
melihat bahwa citraan bulan di langit tidak permanen.
Bahkan Sokrates, yang tidak kita tahu pasti apakah menerima
wahyu* atau memang hasil kontemplasi, secara tegas mengatakan bahwa Tuhan
adalah Satu. Dia menolak paganisme-politeisme Yunani kuno, yang kemudian
membuatnya dihukum mati. Namun karena itu juga, sejarah memahkotainya sebagai
salah satu orang paling bijaksana yang pernah hidup dalam masa Yunani Kuno,
orang yang kecerdasannya jauh melampaui zamannya.
Lalu apakah Ibrahim, sebagai bapak agama Samawi, akan
menunjukkan kebodohan yang sama seperti kaum pagan yang menyembah matahari,
bulan, atau petir? No, he didn’t. Tentu saja tidak. Maka situasi yang lebih
tepat adalah: beliau mendemonstrasikan kebodohan yang dilakukan oleh kaum
musyrik**. Ibrahim sebenarnya memang tidak percaya dengan benda-benda langit
itu, beliau menunjukkan betapa bodohnya bila ada orang yang menyembah mereka.
Ibrahim, secara sarkastik, melakukan itu untuk menyerang
pemikiran kaumnya. Tidak percaya? Beliau bahkan lebih sarkastik lagi, nantinya,
ketika menghancurkan berhala yang disembah kaumnya. Ibrahim, secara rahasia,
menghancurkan berhala-berhala kecil dan mengalungkan kapak yang dia gunakan di
berhala yang paling besar. Ketika orang-orang di sana mencurigainya dan
menyidangnya, beliau berkata: “Tanyalah pada yang paling besar itu, bukankah
kau lihat dia yang membawa kapak?”
Begitu cerdas.
Dan ketika orang-orang menyangkal pernyataannya dengan berkata bahwa patung tidak bisa bergerak, Ibrahim melancarkan serangan utama. Mereka benar, kata Ibrahim, bahwa patung tidak bisa bergerak. Mereka, berhala-berhala itu, tidak mampu melindungi diri mereka sendiri, apalagi melindungi orang-orang yang menyembahnya. Sebuah konsep penyadaran yang luar biasa, bukan? Rasul-rasul yang lain tidak menghancurkan berhala atau kuil kaumnya sebagai proses dakwah—termasuk Rasulullah Muhammad SAW***.
Dan ketika orang-orang menyangkal pernyataannya dengan berkata bahwa patung tidak bisa bergerak, Ibrahim melancarkan serangan utama. Mereka benar, kata Ibrahim, bahwa patung tidak bisa bergerak. Mereka, berhala-berhala itu, tidak mampu melindungi diri mereka sendiri, apalagi melindungi orang-orang yang menyembahnya. Sebuah konsep penyadaran yang luar biasa, bukan? Rasul-rasul yang lain tidak menghancurkan berhala atau kuil kaumnya sebagai proses dakwah—termasuk Rasulullah Muhammad SAW***.
Kaum yang diamahkan kepada Ibrahim tentunya sangat-sangat
bebal dan susah diajak ngomong, maka taktik penghancuran berhala seperti itu
memang hal terbaik dan terbijak yang bisa dilakukan. Dengan kebijaksanaan
seperti itu, sekali lagi, tidak mungkin bagi seorang Ibrahim untuk benar-benar
berniat menyembah matahari atau bulan. Sebagaimana Rasulullah SAW, atau bahkan
Sokrates, sebelum menerima wahyu pun beliau tidak berpikir sebagaimana kaumnya
berpikir.
Suatu ketika di toko buku saya melihat buku yang berjudul
“Ibrahim pernah Ateis” atau semacamnya, dan saya merasa kalau sebenarnya tidak
seperti itu. Saat ini saya diam-diam berharap kalau penulisnya memang sengaja
membuat judul yang seperti itu untuk menarik pembaca, dan menanamkan
penyangkalan di kepala mereka—argumen sisi terbalik. Karena kalau ada yang
meyakini bahwa seorang rasul pun pernah galau perihal keimanannya, maka
dikhawatirkan mereka akan menganggap bahwa “bermain-main dengan iman” adalah
hal yang wajar untuk dilakukan.
Setidaknya, itu menurut saya.
Terakhir, seperti yang lainnya, saya juga ingin
menyampaikan: selamat Hari Raya Idul Adha. Semoga momen-momen ini bisa
meningkatkan kecintaan dan keimanan kita pada kesucian para rasul, khususnya
Ibrahim AS. []
*tadinya saya hanya ingin mencari di google tentang
monoteisme Sokrates dan malah menemukan artikel yang menjelaskan bahwa sebagian
muslim, setelah meneliti pemikiran dan jalan hidup Sokrates, berpendapat kalau
Sokrates memang nabi yang diutus untuk kaum Yunani Kuno. Menarik sekali, karena
posisinya sebagai salah satu Bapak Filosofi Eropa—maka tinggal masalah waktu
bagi Eropa, sebagai “anak cucunya”, yang bermasyarakat maju itu untuk sedikit
lebih maju lagi dan menerima Islam. Kita tahu: semakin cerdas seseorang maka
semakin dekat dia dengan Kebenaran. Karenanya saya yakin, juga setelah melihat
statistik, bahwa Islam akan bangkit di Eropa.
**bukan murni pemikiran saya, tulisan ini terinspirasi dari
kajian yang saya dengar dari Ustad Nouman Ali Khan.
*** Rasulullah dan para sahabat memang menghancurkan
berhala-berhala di sekitar Ka’bah pada saat Fathul Makkah, namun itu bukan
proses dakwah. Ketika Mekah ditaklukkan, itu adalah saat hukuman dari Allah.
Itu adalah saat ketika sebuah negara ditaklukkan oleh pasukan Islam. Secara
esensi, barangkali, proses itu mirip dengan hujan batu untuk kaum Luth atau
banjir untuk kaum Nuh. Hanya saja yang Allah hancurkan hanya kemusyrikannya,
bukan orang-orangnya. Jadi sebenarnya Fathul Makkah bukanlah proses hukuman,
tapi belas kasihan dan pemaafan dari Rasulullah SAW. Kasus tersebut tentu
sangat berbeda dengan Ibrahim.
Intinya, kecerdasan Ibrahim tentu telah Allah karuniakan kepadanya. Saat manusia lain yang hidup di zamannya tak memikirkan tentang matahari yang terbit dan terbenam, Ibrahim telah memikirkan siapakah yang ada dibaliknya.
ReplyDeleteSehingga Ia dengan kecerdasannya dapat begitu mudahnya mamatahkan kepercayaan orang2 bebal itu dengan taktik penghancuran berhala yang fenomenal itu.
Nice post. Happy Eid Adha, Cahyo. Salam mbeeekk ^^
Wallahu a'lam bi shawab.
Salam mbeeek jugaaa~
ReplyDelete