Dicucinya sebelum dibakar apa setelah dibakar to?
Tanyaku kepada Ibu pagi ini ketika membuat sendiri wedang
jahe. Ini sudah yang kesekian kalinya aku membuatnya--masih dengan jahe yang
kubeli setelah pulang dari Merbabu. Ibu bilang aku perlu jahe agar njarem di kaki cepet ilang. Njaremnya
sudah lama hilang, tapi jahe yang tiga ribu dapat seperempat kilo itu tak
habis-habis, seperti persediaan kacang bagi tupai saat hibernasi.
Biasanya jahe aku bersihkan dulu sebelum dibakar. Tapi pagi
ini Ibu menyuruhku membersihkannya lagi (sambil menyerahkan gayung berisi air).
Aku meletakkan jahe gosong itu ke alas kayu, kemudian mengeksekusinya dengan ulegkan
(yang barusan digunakan Ibu untuk membuat bumbu, tapi udah kucuci). Rupanya saran
Ibu memang utopis sekali untuk dilakukan. Setelah tergeprek, tentu saja jahe
hancur. Dan satu-satunya air yang bisa menyentuhnya dalam kondisi seperti itu
hanyalah air panas dalam gelas.
Aku menyeduhnya.
Di dalam gelas, sebagian kulit jahe yang gosong itu
mengelupas dan terapung di permukaan seperti ikan mati. Biasanya, aku
menyaringnya ke wadah lain, membersihkan gelas, lalu menuangkannya lagi ke
dalam gelas. Namun pagi ini aku akhirnya sadar, bahwa ternyata itu memerlukan
terlalu banyak usaha hanya untuk segelas minuman. Lagipula, akan ada banyak
tempat yang menjadi kotor.
Entah karena malas, setelah membersihkan sebagian remukan
jahe yang terapung dengan sendok, aku memasukkan susu kental manis. Dan
tersajilah susu jahe home-made yang
akhir-akhir ini sering ku minum, hanya saja kali ini tanpa proses penyaringan.
Susu jahe kali ini, meskipun tampak “kotor”, entah bagaimana
justru terlihat lebih asli. Lagipula, tanpa membuang ampas-ampas kecil itu,
rasa jahe dalam minuman ini lebih berasa. Aku, pada akhirnya, menerima ampas
kecil itu sebagai bagian yang mengutuhkan susu jahe itu. Aku lantas berpikir:
apa memang seharusnya seperti itu? Apakah sesuatu memang tidak seharusnya dicoba
dihilangkan paksa dari keutuhannya?
Dalam hidup ini, ketika menjalin hubungan, rasanya kita memang
tidak seharusnya berusaha terlalu keras untuk menghilangkan kelemahan pada
seorang teman, atau pasangan. Betapa melelahkannya melakukan negasi terhadap
kelemahan orang lain (atau diri sendiri) secara konsisten.
Menurutku, penghilangan paksa kelemahan orang lain,
setidaknya dalam pikiran kita, akan merusak keseimbangan pribadi orang itu. Dan
bagi kita sendiri, sedikit banyak akan mengendapkan pseudo-realitas dalam otak
tentang orang itu: bahwa aku bisa bahagia dengannya bila dia melakukan ini,
itu, atau berada dalam kondisi begini, begitu.
Padahal, bukankah kebahagian dengan orang lain bisa
diusahakan setiap saat dan dalam setiap kondisi? Tidak perlu membatasi
kebahagiaan pada kondisi-kondisi ideal saja.
Ingat bahwa sebuah keutuhan realitas memang ada dua; yang
baik dan yang chaotic, sebagaimana Nietzsche
meletakkannya. Makanya Nietzsche mengkritik dengan sarkas bahwa “peng-indah-an”
yang berlebihan pada sesuatu, seperti ide Sokrates, adalah semacam
membuat ide mummy. Artinya, kita membunuh realitas yang sebenarnya,
mengeluarkan organ dalamnya, membalsemnya, membungkusnya, menyemprotkan
wangi-wangian lalu kita memujanya.
Kita memuja kesempurnaan yang indah, yang sebenarnya adalah
realitas yang “mati”.
“Itu baru anakku!”, “Nah gitu dong sebagai temen!”, “Aduh
seneng deh kalau pacarku kayak gitu” dan kalimat “harus begini harus begitu”
yang lain sebenarnya adalah pengajuan syarat kebahagiaan yang tidak perlu. Dan orang
yang mendengar hal itu bisa jadi juga berusaha terlalu keras untuk menjadi baik
di mata kita, sambil secara membabi-buta menutupi kekurangannya. Tidakkah itu
menyiksa?
Padahal dengan menerima kedua sisi karakter sebagai satu
koin yang utuh, justru akan memberikan nilai dan kesan yang tidak munafik.
Maka dari itu, ketika kita mengidamkan susu jahe yang lebih
mengkilap, maka selamat mencarinya di restoran—itu pun kalau ada. Kalau kita
mendambakan seseorang seperti tokoh utama dalam drama Korea, atau Fahri-nya
Ayat-ayat Cinta di dunia nyata, maka akan kukatakan saran yang sama:
selamat mencari!
Di jaman sekarang tidak mungkin ada orang yang sempurna. Ikhlas
menerima kelemahan, itulah kunci hubungan yang membahagiakan. Seperti kata
orang; kalau kamu tidak mau menerima hal buruk dari seseorang, maka kamu tidak
pantas mendapatkan kebaikannya.
*btw, susu jahenya diminum sambil nulis tahu-tahu habis.
0 comments:
Post a Comment