Do the Program Seratus Hari?

Apr 2, 2013

Apa yang ada di pikiranmu saat melihat sepiring makanan di meja? Dari sudut apa kamu memandangnya? Sesuatu yang bisa membuatmu kenyang? Atau lebih jauh, sesuatu yang akan menjadi energi kita untuk belajar dan beribadah? Atau kita memandangnya dari bagaimana makanan itu bisa tersaji, pernahkah membayangkan berapa hamba Allah yang terlibat dalam pengadaannya? Dari nasinya saja, ada petani yang menanam padinya, ada penjual pupuk, ada ular sawah yang memakan hama tikus, sampai ke pegawai selepan (rice mill). Dari sayur dan lauknya, ada yang menanam di kebun, ada penjual di pasar, sampai pada orang yang memasaknya hingga bisa dihidangkan ke kita. Lewat tulisan ini saya menyatakan cinta pada mereka semua.

Itu adalah sedikit pengertian saya mengenai persepsi, cara pandang. Saat melihat sebuah laptop di meja dengan modem yang terpasang? Apakah hanya laptop, atau adakah maksud lain? Mengapa ada modem di situ? Mengapa sebagian orang memiliki modem dan sebagian lagi tidak? Kalau kita bisa memandang sejauh itu, berarti kita bisa paham kalau ada tujuan tertentu mengapa kita punya modem. With great power, comes great responsibility.Dengan anugerah koneksi internet yang kita punya, tentu kita memiliki “tanggung jawab” yang lebih besar dari yang tidak punya. Dari situlah saya mulai berpikir tentang kebermanfaatan koneksi internet yang saya punya untuk orang lain, salah satunya dengan menulis.

Saat ini saya adalah salah satu dari 10 peserta Pelatihan Menulis Soto Babat yang diselenggarakan oleh Keluarga Embun. Tercatat baru tiga kali pertemuan, kelas terakhir adalah tentang bagaimana cara menulis menggunakan sumber sebagai penguat argumen. Kemarin Kang Nassirun Purwokartun (Kang Nass) membuat semacam tantangan untuk menulis setiap hari sekali selama 100 hari. Dari persepsi Kang Nass, menulis setiap hari adalah bagian dari latihan kedisiplinan dan mengembangkan kepekaan hati. Karena sering menulis di blog, saya pikir apa susahnya untuk menerima tantangan semacam itu. Singkat kata saya menerimanya.

Lalu bagaimana saya memandang program menulis 100 hari yang ditawarkan kang Nass kepada kami? Seperti argumen yang sebelumnya, bila kita mengatur sudut pandang kita sedemikian rupa, kita akan melihat kalau segala sesuatu terjadi tidak begitu saja. Misal begini, kalau ada puluhan orang yang mendaftar pelatihan ini, mengapa kami bersepuluh yang terpilih. Baiklah, mungkin karena yang tulisan pendaftar lain kurang mencukupi persyaratan. Kalau begitu bagaimana kalau kasusnya begini, ada salah satu teman saya yang juga ingin ikut pelatihan menulis, orangnya cerdas dan tulisannya bagus, tapi salah informasi. Berarti saat ini memang ada yang harus saya lakukan yang tidak harus dia lakukan, mungkin termasuk proses 100 hari ini. Seperti malaikat yang memiliki sayap karena ruang kerjanya meliputi langit dan bumi, mereka daerah edarnya lebih luas dari manusia yang tidak bersayap.


Saya tidak sendirian, ada Avi Ramadhani yang sudah menulis petuahnya sejak pagi tadi. Tulisannya menambah motivasi saya, dia mengatakan sesuatu yang semakin menyakinkan saya akan proses ini. Seperti yang dia sampaikan, manusia kadang hanya melihat seputar waktu ketika cobaan dimulai, dia tidak membayangkan betapa hebatnya dia jika lulus kelak. Tadi juga sempat ada pikiran yang mengganggu sesaat setelah menerima tantangan ini. Misal, karena ini pertengahan semester jadi nanti akan banyak tugas dan ujian. Ada juga pikiran seperti bagaimana saya akan mengintegrasikan 100 tulisan dalam satu tema. Semua pikiran itu semoga semakin menghilang, karena saya ingin melatih dan menandai perubahan tulisanku dari hari ke hari. Tulisan, sebagai anak jiwa akan membantu kita menjaga persepsi dan ideologi agar tidak terpengaruh sesuatu seperti uang atau kepentingan kelompok.

nb: sebenarnya kegiatannya ini saya lakukan di facebook, kalau kalian ingin saya tag notes selama 100 hari ke depan bisa add saya di sini. Kalau di facebook saya tag beberapa orang, komen-komennya ada di sana. Terimakasih :D

1 comment: