Our phones are getting smarter, but are we getting dumber?
Tulisan ini merupakan pengembangan dari tulisan kemarin, The Thirty-Percenter. Saya tertarik pada poin dimana teman saya perlu membeli satu lagi smartphone hanya karena adiknya ingin dibelikan hape yang sama.
Perkembangan smartphone mungkin 
disikapi dengan kurang tepat oleh sebagian remaja. Banyak yang membeli 
Blackberry/Android cuma gara-gara tren, atau ingin bergabung dengan 
suatu komunitas tertentu, misal pengguna BBM atau Whatsup. Kalau memang 
begitu, sadar tidak sadar kita telah memilih teman berdasarkan produk 
yang kita miliki. Pengguna Blackberry dipertemukan oleh BBM, pengguna 
Android dipertemukan oleh Whatsup, atau LINE, atau KakaoTalk, atau yang 
lain.
Sebagian besar pengguna 
smartphone di Indonesia belum bisa mengoptimalkan penggunaan smartphone,
 masih terbatas pada sms dan jejaring sosial. Idealnya, kita bisa 
memanfaatkan smartphone untuk pekerjaan kantor ringan seperti mengecek 
dokumen atau mengirim email. Ketika sedang jalan-jalan, kita bisa 
memanfaatkan fasilitas GPS atau Google Maps. Kita bisa mendelegasikan 
pekerjaan-pekerjaan ringan seperti itu pada ponsel pintar kita dan 
memfokuskan diri untuk melakukan aktivitas lain yang lebih berarti. 
Tapi sepertinya hal tersebut malah terbalik.

Pada saat rapat kegiatan, arisan
 karang taruna, atau bahkan pada momen spesial seperti kumpul lebaran, 
kita malah sibuk sendiri dengan smartphone kita. Membalas BBM atau 
update status Facebook sepertinya memang sudah menjadi respon otomatis 
dari pikiran kita untuk keluar dari situasi yang kita anggap mulai 
tradisional dan membosankan. Kita menjadi semakin malas untuk 
berinteraksi dengan orang lain, apalagi berpikir dan berbagi pendapat.
Selama ini, saya baru memiliki dua orang teman yang pintar IT dan mengubah pandangan saya tentang bagaimana meng-handle
 gadget. Yang pertama adalah teman saya yang kemarin membeli Andromax C 
itu. Sebagai seorang yang sangat terpacu untuk menjadi desainer grafis 
kelas dunia, dia sering berpetulang dalam kompetisi desain online. Untuk
 itu dia sering menerima email, baik itu email notifikasi atau email 
dari klien. Ketika saya tanya tujuannya membeli smartphone, saya sempat 
mendengar dia menjawab,
"Aku beli ini sebenarnya hanya 
biar lebih mudah mengecek email-email yang masuk." Semacam itu, saya lupa
 kalimat pasnya. Intinya, dia memang sudah tahu tujuan dan kapasitas 
sesuatu yang dia beli.
Orang kedua masih rahasia. Yang 
jelas dia adalah orang yang mengajari dan membawa saya masuk pada dunia 
IT, sekaligus mengubah persepsi saya dengan kata-kata yang selalu saya 
ingat; Yang penting itu orangnya (user), bukan gadget yang dia gunakan.
Jadi, orang yang gaptek dalam 
pengertian saya bukanlah orang yang tidak bisa mengoperasikan 
gadget-gadget terbaru. Gaptek adalah orang yang memiliki dan pintar 
mengoperasikan sebuah gadget, tapi tidak bisa menggunakannya untuk 
menebar kemanfaatnya untuk orang lain. Gaptek juga bisa berarti terlalu 
melekat pada gadget sehingga kepekaannya pada lingkungan sosial sekitar 
menjadi berkurang. Dia gagap dalam mengatasi perkembangan teknologi.
Banyak programmer yang secara 
berkala bekerja memutar otak untuk mendapatkan teknologi terbaik untuk 
mempermudah hidup manusia. Apakah kita akan melemparkan itu semua demi 
menaikkan level Angry Birds? Atau menambah koleksi pedang pada Fruits 
Ninja? 
Teknologi mestinya bisa mempermudah hidup manusia, sehingga lebih mudah pula untuk membantu orang lain.
Atau kita memang generasi idiot 
yang dikhawatirkan Einstein, dimana penggunaan gadget telah mengganggu 
proses interaksi sosial kita.
@cahyoichi_
 
 
0 comments:
Post a Comment