Kalau kita sadar,
sebenarnya ada banyak nilai-nilai yang bisa kita ambil dari peraturan untuk
berhenti pada saat lampu merah. Ketika lampu merah menyala, semua pengendara
harus berhenti (kecuali ambulan). Entah itu petani, pebisnis MLM, sampai
anggota DPR harus berhenti sejenak untuk memberi kesempatan kepada pengendara
dari arah yang lain untuk lewat. Konsep tersebut merepresentasikan keadilan
sosial dalam masyarakat. Di mana pun kelas kita dalam tataran sosial masyarakat,
kita harus tetap saling menghargai agar tercipta kehidupan yang harmonis.
Dalam berkendara, kita
kadang merasa bahwa kita adalah orang yang paling terburu-buru sedunia. Semua
orang harus minggir memberi kita jalan agar bisa sampai ke tempat tujuan
sesegera mungkin. Faktanya adalah: setiap orang yang berkendara di jalan itu
terburu-buru. Kita tidak bisa hanya memikirkan kita sendiri, untuk bisa
dimengerti orang lain, hendaknya kita berusaha untuk mengerti mereka terlebih
dahulu. Kita masing-masing selalu bisa menemukan cara untuk berkendara dengan
santun. Lagipula kalau kita menyempatkan diri untuk menghitung, baik secara
kebut-kebutan atau biasa, waktu yang diperlukan untuk sampai ke tempat tujuan
tidak jauh berbeda. Saya membuktikannya pada perjalanan berangkat ke kampus.
Di lampu merah, semua
pemakai kendaraan harus berhenti sejenak agar tidak bertabrakan dengan kendaraan
yang melaju di depannya. Begitu juga dengan bagaimana kita menjalani kehidupan
kita. Hidup itu memang terus bergerak maju, tetapi ada kalanya kita mengijinkan
diri kita sendiri untuk beristirahat. Kita bisa melihat ke kanan dan kiri kita
untuk memastikan tidak ada sesuatu yang terlewatkan. Ibarat membawa ember, kita
perlu sesekali meletakkan ember tersebut untuk beristirahat dan mengumpulkan
tenaga lagi. Kita bisa bermain, mengobrol, makan, dan jalan-jalan bersama
teman-teman kita, sekalian mengeja petunjuk-petunjuk-Nya yang mungkin muncul.
Kita selalu perlu “menjeda jiwa” dan mengkaji ulang pemikiran kita, agar tidak
bertabrakan dengan ego kita sendiri.
Nb: agar paragraf
terakhir tidak terkesan kontradiktif dengan catatan sebelumnya yang ada argumen
“stop means die”, “stop” pada tulisan sebelumnya berarti benar-benar berhenti
untuk selamanya, bukan istirahat. Saya juga meminjam istilah dari Esty lagi
(Jeda Jiwa), terima kasih Est.
0 comments:
Post a Comment