Bagaimana Aku dan Mini Melawan Dunia

Dec 2, 2011

September ke 22 di tahun ini,

Masih seperti malam-malam kemarin, aku galau di tempat tidur karena tidak ada PR yang berarti. Satu-satunya yang membuat kuliahku lebih menyenangkan selama ini adalah menjadikan diriku sendiri mahasiswa yang selalu datang terlambat, maju serampangan saat presentasi, dan yang paling seru, aktif dalam organisasi kampus.


Perkenalkan, namaku Cahyo Adi Nugroho, sebut saja Cahyo, si tokoh utama, mahasiswa semester 3 jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Seni Rupa (FSSR), di salah satu kampus ternyaman sedunia, Universitas Sebelas Maret yang disingkat UNS.

Fakultas sastra, dengan bahasa apapun, adalah jurusan dengan tekanan tertinggi setelah jurusan Seni Rupa. Permasalahan mendasar yang sering dialami oleh seniman, atau juga penulis, adalah mood. Padahal sumber daya mood yang bisa aku temui di fakultasku benar-benar terbatas. Padahal sumber daya mood yang aku temui di kampusku sangat terbatas. Maka dari itu aku ikut kegiatan organisasi fakultas (UKM). Adapun UKM yang tidak beruntung karena aku datangi itu adalah Edcom, SKI, dan yang terbaru, BEM fakultas. Cara yang kulakukan berhasil, bagaimana secara luar biasa di UKM aku mendapatkan banyak teman yang menyenangkan, dan secara teknis itu akan menambah sumber daya mood.

Selalu ada konsekuensi, tidak mungkin ada Yin tanpa Yang. Dengan banyaknya agenda yang aku punya sekarang, aku harus pintar membagi waktu. Tugas harus diselesaikan di waktu luang ketika tidak ada agenda, tugas makalah harus menjadi sesuatu yang bisa dikerjakan di sekre atau mushola. Disitulah peran netbookku, tokoh utama kedua di cerpen ini, HP mini 210 yang sudah kubeli sejak awal masuk kuliah. Aku sengaja memilih netbook karena laptop itu terlalu berat. Aku kan harus terus bergerak, mengejar mimpi, ya aku harus mengurangi beban yang kubawa. Sampai jam 11 malam ini aku belum sadar kalau beberapa hari mendatang akan terjadi banyak hal yang tidak terduga.
***

Pagi ini aku berjalan perlahan menuju ruang kelas, mengingat kembali bagaimana saat pertama kali aku berjalan dari parkiran menuju ruang kelas, melewati koridor-koridor gedung I FSSR. Dulu aku mungkin punya banyak teman untuk menemani kemanapun pergi saat berada di kampus, bergerombol menuju ruang kelas. Itu karena dulu kita masih sama-sama culun dan belum tau seluk-beluk tempat ini, belum tau juga cerita kalau di kamar mandi pojok di lantai 3 pernah ada hantu ibu-ibu. Kalau sekarang mah ibaratnya kita mau jalan mundur sambil merem pun juga ga akan nyasar

Tapi kini agak beda, tidak bisa lagi dirasakan kesan rasa bangga telah menjadi mahasiswa. Semua terasa seperti biasa, seperti waktu kita berjalan di halaman SD kita dan melihat burung-burung  gereja terbang saat kita mendekat, semacam itu.

Aku berhenti sejenak ketika mataku menangkap sebuah pamphlet yang cukup menarik, informasi mengenai lomba karya tulis yang diselenggarakan oleh Fakultas Pertanian, dengan tema pertanian tentunya. Aku kemudian tertarik, dan ketika aku sudah tertarik akan sesuatu, susah untuk melepaskannya. Aku lantas mengajak alah satu temanku, sebut saja Mulad. Mulad yang aku iming-imingi dengan pengalaman dan sertifikat yang akan kita dapat, langsung menyetejuinya.
***

Memang sudah banyak hal yang kulalui bersama miniku sampai semester ke 3 ini. Aku akan menceritakan beberapa hal yang terjadi di minggu awal semester ini. Lomba karya tulis yang kami daftar kemarin memang benar-benar di luar ranah kami. Tapi kami yakin, dengan motivasi ingin mencari pengalaman dan sertifikat. Lagipula ada HP mini yang sangat sangat bisa dibawa ke mana-mana untuk hotspotan mencari bahan makalah. Itulah alasan pertama. Mudah dibawa ke mana-mana.

Selalu saja ada pihak yang mengganggu rencana kita, dan membuat hidup lebih seru. Dengan deadline pengumpulan makalah yang tinggal 3 hari lagi, Edcom, organisasi jurusan yang aku ikuti, memberikan amanah untuk membuat perijinan kegiatan ospek.

“Cahyo, kamu tolong urus bagian perijinan ya, makasih.” Komando dari Inti, calon Sekertaris Edcom.

Aku tidak suka nada bicaranya. Tapi sebagai mahasiswa penuh dedikasi, aku buat surat perijinan itu. Besoknya surat itu sudah bisa diberikan pada dekanat untuk ijin kegiatan.

Aku merasa bisa bernafas lega, sampai akhirnya SKI, organisasiku yang lain, tanpa dosa memberikan tugas untuk mengurus peminjaman alat. Terus terang saat itu aku kelimpungan, namun aku mencoba untuk tetap tenang. Aku harap bisa menyelesaikan segala surat perijinan hari itu juga di kampus, karena malamnya aku ingin memulai melanjutkan makalah. Akan tetapi ada satu masalah, baterai mini tinggal separo dan aku lupa membawa charger. Aku sempat pesimis, tapi aku tetap mencoba. Yang mereka bilang “there is a will, there is a way” ternyata benar. Sekitar 2 jam berlalu dan semua surat selesai siang itu. Aku masih sempat menyimpannya di flashdisk dengan sisa 9% baterai di mini. Itulah bagian menyenangkan yang kedua, daya tahan baterai yang mengerikan.

Aku sampai pada keadaan dimana besok adalah deadline pengumpulan makalah. Aku dan Mulad saling mengirim sms dan sepakat untuk membagi tugas dalam pengerjaan makalah itu. Aku selalu berusaha agar tidak menjadi beban. Dalam pikiranku malam itu hanya agar makalah kami selesai dengan baik. Aku dan mini sudah berusaha keras, dua gelas kopi susu juga sudah habis. Tapi aku tahu, aku bukan mahasiswa super yang bisa mengerjakan makalah serumit itu dalam semalam. Aku sudah bertempur melawan rasa lelah dan kantuk, dan sialnya mereka menang. Hingga pada esok harinya makalah kami tidak benar-benar selesai, ada beberapa syarat yang masih kurang.

***

Keesokan harinya, berjalan perlahan di koridor Gedung 1 dengan sesekali menguap. Aku menemui Mulad menceritakan semuanya dan meminta maaf. Tapi sebagaimana Mulad yang aku tahu, dia yang memang berencana ingin mendalami sastra mengatakan sesuatu yang filosofis,

“Sudahlah, tidak usah dipikirkan lagi. Berhasil atau tidak itu nilainya sama, karena kita sudah berusaha.”

“ Kesuksesan yang sebenarnya itu ada pada proses, bukan hasil.” Katanya sok bijak.

Walaupun apa yang dikatakannya itu cuma mengutip kalimat populer, tapi kalau aku perempuan pasti saat itu mataku sudah berkaca-kaca. Sambil berjalan aku memikirkan kembali bagaimana hidupku 3 hari ini dan akhirnya tersenyum. Aku menemukan kelebihan ke 3 dari mini, yaitu memberikan kesempatan berproses lebih.
Yang Terpenting dari Kehidupan bukanlah kemenangan tapi bagaimana kita bertanding – Baron Pierre De Coubertin

[caption id="" align="alignnone" width="353" caption="Aku, Mulad, dan HP mini kesayanganku"]Aku, Mulad, dan HP mini kesayanganku[/caption]

10 comments:

  1. sangat sangat menarik dan menginspirasi.
    dan satu lagi kelebihan si mini. menjadi teman dalam menulis blog di atas.. hhe

    ReplyDelete
  2. yang diatas itu emang dibuat there is a way, there is a will tah?

    bukane if there is a will, there is a way

    ReplyDelete
  3. wah iya, maaf maaf kurang teliti :D. Udah dibenerin, mksih dah diingetin

    ReplyDelete
  4. ini untuk lomba blog kah??
    klo iya.. sukses untuk lombanya ya. semoga mendapatkan juara. amin.

    ReplyDelete
  5. sejujurnya iya, klo sebagai cerpen cerita diatas kurang apa?

    ReplyDelete
  6. Sudah lebih deskiptif,, jadi pembaca lebih bisa menewarang setting tempat dan waktu,,,


    JOss

    ReplyDelete
  7. eaa, pandangan seorang Rizal , maacim mas

    ReplyDelete
  8. hmm.. aku kira malah tulisan di atas itu testimoni pengalaman pribadi. tp misal untuk testimoni pengalaman pribadi, tulisan di atas sudah bagus kok Cahyo. makanya aku bilang menarik dan menginspirasi. :)

    oke deh, gud luck ya Cahyo.

    ReplyDelete
  9. memang disuruh nulis cerita pengalaman pribadi og mas, tpi dibikin cerpen.

    .anyway thanks mas :D

    ReplyDelete