Prolog: Tulisan ini ada di majalah Aitam
edisi khusus Ramadhan.
------------------------
Beberapa hari yang lalu aku pergi ke sebuah
rumah sakit. Temanku mengalami musibah yang menyebabkan tangannya harus dioperasi.
Memang seperti ada yang spesial dari rumah sakit ini; temanku di karangtaruna
pernah magang di sini, salah satu sepupuku ada yang bekerja sebagai perawatnya,
salah satu guru menulisku juga koas di sini, dan yang terakhir, temanku bilang
kalau adiknya juga sempat dirawat di sini.
Aku ingat ketika beberapa minggu sebelumnya
aku menginap di rumah sakit ini. Waktu itu malam sudah agak larut ketika aku
duduk di ruang tunggu dekat lobi lantai tiga. Aku mengetik. Kalau aku tidak
mengantuk, rasanya aku bisa menulis semalaman di tempat itu. Pada jam yang
sama, lobi rumah sakit sepertinya lebih sunyi dibanding kamarku—Bapak biasa
menonton TV sampai larut. Suasananya begitu tenang. Beberapa orang masih berlalu lalang, beberapa
lagi duduk di sekitarku, ada yang tidur di kursi dan mendengkur keras sekali.
“Kesehatan dan waktu luang adalah dua
nikmat yang biasa diremehkan manusia”, sabda Muhammad SAW. Konon ada sebuah
hukum unik yang berlaku untuk banyak orang: manusia menghabiskan waktunya di
masa muda untuk mencari uang, dan menghabiskan uangnya di masa tua untuk
mencari kesehatan. Rumah sakit itu telah membuktikan padaku, bahwa memang
sebagian besar orang yang kutemui adalah orang tua. Entah mereka sakit karena
gaya hidup atau “terlalu lelah mencari uang” di masa muda, yang jelas mereka
datang dengan tujuan yang sama: mencari kesehatan.
Ada aturan universal di rumah sakit: dilarang
merokok, membuang sampah sembarangan, dan sebagainya yang bisa mengganggu
pasien. Aku kemudian membayangkan bahwa dunia ini semacam rumah sakit raksasa
untuk orang yang patah hati—hospital from
the broken. Tempat dimana setiap orang yang tersakiti bisa selalu mencoba move on dan mencari kesempatan kedua. Untuk
itu, aturan universal tadi juga berlaku: untuk tidak mengganggu orang yang
tengah mencari kesembuhan, bahkan kalau perlu dibantu untuk sembuh.
Begitu juga dengan bulan Ramadhan.
Aku membayangkan Tuhan adalah seorang
dokter, yang pada waktu Ramadhan membuka praktek gratis selama sebulan penuh,
24 jam. Ketika seorang dokter memberi resep obat, sesungguhnya pasien lah yang
membutuhkannya. Dokter tidak akan rugi bila pasien tidak mau menerima obat darinya.
Pasien ingin sembuh atau tidak, itu diluar otoritas sang dokter. Tuhan juga
seperti itu. Dengan memberikan perintah untuk berpuasa, bukan berarti Tuhan
butuh ibadah puasa hamba-Nya. Dia telah memberikan resep untuk memperoleh
derajat taqwa, terserah hamba-Nya mau mengambilnya atau tidak. Namun bila kita
memang sedang sakit, dan ada yang memberikan kita obat untuk sembuh, akankah
kita akan menolaknya?
Ketika ada orang berkomentar, “Ah kamu, rajin ke masjid hanya pas Ramadhan
doang!”, dia lupa bahwa Ramadhan memang didesain untuk itu. Seperti sebuah
rumah sakit, Ramadhan adalah tempat bagi manusia untuk mengobati penyakit
kejiwaannya. Sebagian manusia butuh momentum untuk berubah; Tahun Baru,
pergantian semester, ataupun hari di mana hatinya dipatahkan. Tidak ada yang
boleh sok tahu menilai niat dan usaha seseorang untuk memperbaiki diri. Karena
bisa jadi, orang yang mencoba mencari kesembuhan tadi lebih dicintai Tuhan
daripada yang tidak melakukan apa-apa untuk meningkatkan kesehatannya.
Keinginan untuk sembuh akan membuat kita
percaya dengan apa yang diberikan dokter—kita “dengar dan taati”, sami'na wa atho'na. Lucu, karena konsep
itu juga bekerja pada hubungan antara Tuhan dan hamba. Ketika ada orang yang
rela mengorbankan waktu tidurnya untuk beriktikaf dan bermunajat kepada Tuhan,
mungkin itulah yang disebut cinta. Dan seperti biasa, cinta kepada Yang Maha
Cinta tidak akan bertepuk sebelah tangan, setiap usaha kecil kita untuk ber-pdkt akan Dia balas. Bahkan, seperti
seorang kekasih yang posesif, barangkali Tuhan ingin hamba-Nya untuk “terhubung”
dengan-Nya dengan membuat teknis amalan harian Ramadhan dari pagi hingga pagi
lagi.
Seseorang pernah berkata, dunia ini memang
tempat yang dirancang untuk menghancurkan hati, kamu tidak mungkin bisa benar-benar
bahagia di dunia. Dan Ramadhan seperti sebuah cara lain bagi Tuhan untuk
mengatakan, “tidakkah kamu lelah setelah
11 bulan penuh mengejar dunia?” Karenanya, Ramadhan seperti waktu di mana
Tuhan mengambil kue kebahagiaan hakiki dan menaburkan remah-remahnya ke bumi. Semuanya
Dia beri kesempatan untuk mencecap manisnya kebahagian langit yang menyembuhkan.
Semuanya; orang tua yang berangkat tarawih, anak-anak yang bersemangat
membangunkan sahur, atau sepasang sahabat yang terpaksa berbuka di pinggir jalan.
Dan sekali lagi, tidak perlu malu bila
mendapat cap ”rajin ke masjid hanya pas
Ramadhan doang”. Ramadhan memang didesain untuk alasan itu. Ketika Langit
meningkatkan nilai pahala selama satu bulan, adalah keputusan penduduk bumi
untuk juga meningkatkan ibadah dan ilmu tentang keIslaman atau tidak. Setelah
takbir Lebaran dikumandangkan, waktu yang akan membuktikan: apakah semangat
kita pergi ke masjid akan semakin kuat, atau justru memudar.[]
-731 kata (tanpa prolog)-
0 comments:
Post a Comment