“Aku
tak biasaaa, bila tanpa kau di sisikuu…”
Pagi itu, alunan lagu yang dipopulerkan
almarhum Alda Risma itu terdengar juga sampai kamar saya, entah darimana
asalnya. Saya lupa waktu itu saya tengah mengerjakan apa, yang jelas saya agak terganggu.
Saya sering terganggu dengan suara lagu
yang diputar keras-keras, entah saya mengakuinya atau tidak. Biasanya itu
terjadi saat saya butuh konsentrasi untuk menulis (tugas) atau membaca. Saya
tidak anti dengan lagu popular, juga tidak membenci penikmatnya. Saya benci dengan
apa yang terjadi di Indonesia: bahwa telinga kita sering tidak diberi ruang
privasi.
Do
you understand what I mean? Orang sering memutar musik
keras-keras, sementara ada beberapa orang di situ yang tidak perlu (dan tidak
mau) mendengarnya. Di Mall, di kosan sebelah, bahkan di tempat yang identik
dengan ketenangan seperti toko buku. Dulu salah satu orang di rumah sering
memutar lagu keras-keras dari laptopnya, dan lagunya itu-itu saja. Berisik
sekali. Saya anyel.
Saya yang sudah tidak tahan sempat
menegurnya, dan dia mengatakan kalau mendengarkan lagu bisa membuatnya betah melek. Well, saya akui waktu itu
tugasnya sedang banyak. Kemudian saya menawarkan solusi menang-menang: saya
sarankan dia untuk memakai headset.
Dan dia menolak dengan alasan bahwa headset
tidak baik untuk kesehatan [telinga].
Benarkah
seperti itu? Kok saya lebih yakin kalau yang tidak baik untuk “kesehatan”
telinga itu kalau kita denger adzan tapi nggak segera Sholat, ya?
Scientifically, headset mungkin sedikit banyak merusak telinga. Tapi kalau kamu
memutuskan untuk mengorbankan kenyamanan orang lain dengan alasan seegois itu,
kepekaan hatilah yang akan menerima kerusakan. Saya sendiri pemakai headset. Saya
sering mendengarkan musik akustik Nobuyuki Hirakura untuk membantu fokus
mengerjakan tugas. Musik akustik, tanpa ucapan vokal dari mulut. Orang bilang,
kalau ada orang yang sedang membaca buku dan memakai headset, berarti dia
sedang tidak bisa diganggu. Dia tidak ingin ada suara lain selain dari headset-nya.
Saya membayangkan sebuah “dunia tanpa suara”
ketika tengah berada di perpustakaan Solopos.
Ruang perpustakaan tempat saya magang itu memang tidak terlalu besar, namun padat.
Berbagai macam koran pating tlecek di
meja yang posisinya dekat dengan jendela. Aroma koran yang khas bisa dicium
setiap hari. Bisa dikatakan; kalau kau ingin tahu bagaimana bagaimana “bunyi”
berita, pergilah ke ruang redaksi. Kalau kau ingin tahu bagaimana “aroma”
berita, pergilah ke perpustakaannya.
Ruang perpustakaan itu memang cenderung “sunyi”.
Dan ketika membaca koran, kamu bisa menghadap langsung ke sebuah jendela kaca
besar tadi. Dari balik kaca itu kamu bisa melihat padatnya lalu lintas di depan
Griya Solopos, dan lalu lalang kendaraan yang masuk keluar halaman parkir.
Ruangan itu berada di lantai dua, sehingga kendaraan-kendaraan tampak kecil.
Ditambah dinginnya ruangan, kamu akan mendapatkan
kesan yang luar biasa ketika memandang dari jendela kaca. Seperti menonton film
bisu tentang hiruk-pikuk kehidupan manusia yang seakan tidak menyisakan tempat
untuk istirahat. Terasa tenang dan damai sekali. Saya membayangkan, betapa
damainya bila kita hidup dalam sebuah dunia yang bisu.
Saya
juga memikirkan orang-orang yang nikmat pendengarannya Tuhan ambil. Seakan-akan
saya iri dengan mereka. Mereka tidak mendengar umpatan, makian, omong kosong, atau
bisingnya kendaraan. Mereka bisa “membaca” dengan tenang—setiap hari. Di tambah
lagi, mereka mungkin tidak akan dimintai pertanggung-jawaban atas amanah telinga,
karena Tuhan memang tidak mempercayakan pendengaran padanya.
Saya membayangkan dunia tanpa suara; saat dimana
mulut terkunci, sementara tangan dan kaki bersaksi. Mata akan bersaksi atas apa
yang dilihatnya, dan telinga bersaksi atas apa yang telah didengarnya. Benar-benar
tanpa ucapan vokal dari mulut yang memiliki potensi dusta.
Astagfirullah []
0 comments:
Post a Comment