Prolog: tulisan ini obyektif, ambillah yang menurut Qur’an
dan hadist benar.
---------------------------------------
Ketika Plato membuat kutipan “cinta adalah penyakit kejiwaan
yang serius”, dia mungkin sedang jatuh cinta.
Seseorang bisa membuat definisi atas suatu hal dengan
kata-katanya sendiri ketika dia benar-benar mengalami atau memahami hal
tersebut. Seorang pediatrician
mungkin bisa mendiagnosis jenis penyakit dengan melihat gejala pada anak yang
sakit, namun anak itu tetap ditanya dengan pertanyaan seputar apa yang dia
rasakan, bagian mana yang paling sakit, dan sebagainya. Sang anak
mendefinisikan penyakitnya sendiri.
Saya kemudian membayangkan, setiap filsuf atau penyair yang
membuat puisi tentang cinta, dia pasti sedang jatuh cinta. Sapardi Joko Damono
menggambarkan cinta yang sederhana dengan analogi “kata yang tak sempat
diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu”. Meskipun saya gagal paham di
mana letak kesederhanaan perlakuan api kepada kayu, saya cukup paham ketika Gibran
menganjurkan untuk menyambut cinta yang menyapa meskipun “pedang di sela-sela
sayapnya melukaimu”.
“Iman bukanlah sesuatu untuk dipermainkan..” komen salah
satu teman pada tulisan kemarin. Well, terlepas dari apakah Dia mengijinkan
kita untuk memainkan iman atau tidak, namun rasanya kadang kita memang “dipaksa”
untuk melakukannya. (kalau tidak begitu, di mana lagi Tuhan mengaplikasikan kapasitas-Nya
untuk membolak-balikkan hati?).
Karena iman tersusun dari enam aspek, bermain-main dengan
iman (kepercayaan) tidak melulu terjadi pada hal besar seperti keyakinan atau
eksistensi Tuhan, namun juga bisa dilakukan pada kepercayaan kita pada
rekomendasi (sunnah) dan ramalan (bisyarah) Muhammad SAW. Ini seperti “lakukan
riset tentang kondisi lambung saat tidur maka kau akan semakin percaya dengan
cara beliau tidur miring ke kanan”, dan sebagainya. Saya yakin, semua
rekomendasi beliau SAW itu pantas untuk diriset secara ilmiah. Bukan untuk
meragukan, tapi seperti kata Esty Dyah Imaniar, agar kita “lebih sayang” pada beliau
SAW.
Supaya lebih paham apa yang saya maksud, cobalah untuk melakukan
ini: di siang hari yang panas, ketika perut sangat lapar, pergilah ke warung
makan yang mana kita bisa mengambil sendiri nasi dan sayurnya. Di situasi itu,
kau akan “dipaksa” bermain dengan rasa percayamu pada Muhammad SAW yang telah
merekomendasikan untuk “berhenti makan sebelum kenyang”.
Kita sebenarnya bisa “cari aman” dengan memilih tempat makan
yang nasinya diambilkan oleh penjual, namun bila kita memilih untuk memainkan
cara di atas, dan berhasil menahan diri untuk mengambil makanan secukupnya,
Tuhan barangkali tersenyum. (Ini susah, saya sendiri kalau udah keburu laper biasanya
ngambilnya kalap)
Kemarin saya mengatakan bahwa mencintai seseorang termasuk
jenis lain dari “bermain-main dengan iman”, katakanlah saya tengah “dipaksa”
untuk memainkannya. Saya sedang (ehem) menyukai seseorang. Dia sendiri pernah
mengatakan pada saya bahwa menyukai seseorang bisa menjadi beban. Saya sempat
tidak percaya, sampai kemudian saya mendapati bahwa memikirkannya membuat saya
kehilangan fokus dalam banyak hal. Saya sadar ini sangat berbahaya karena “banyak
hal” tadi termasuk sholat.
Dan aduh! Saya membayangkan bila Plato harus terus
berfilsafat dengan kondisi hati yang hancur karena “penyakit kejiwaan” yang
mengjangkitinya. Atau Gibran yang harus terus bersyair dengan kondisi jiwa yang
“tertusuk pedang yang tersembunyi pada sayap-sayap cinta”.
Selain tidak fokus, niat saya untuk melakukan kebaikan
membelok sekian derajat dengan keberadaan orang itu di sekitar saya. Meski Esty
menganjurkan untuk tidak mengeja keikhlasan, dan bahkan bukan ranah saya untuk
menilai pahala kebaikan saya sendiri, saya merasa sedikit banyak amalan saya
telah rusak. It is because we have
someone to impress. Kalau sudah seperti ini, benar-benar seperti kata
Dirly: cinta ini membodohkan aku.
See? Permainan iman yang satu ini termasuk jenis yang
berbahaya. Padahal jatuh cinta itu sudah menjadi fitrah, manusiawi. Tidak bisa
mengatasi perasaan cinta dengan baik, bisa jadi lebih buruk akibatnya daripada
menganalisis eksistensi Tuhan—boleh percaya boleh tidak. Bagaimanapun,
sebagaimana permainan iman yang lain, mencintai orang lain akan membawa
kebaikan bila kita bisa meng-handle-nya dengan baik. Saya yakin.
Pernah dengar argumen “mencintai orang lain akan membuat
kita lebih mencintai diri sendiri?” Intinya, kita akan terus memperbaiki diri
agar pantas menyanding orang yang kita cintai. Kita menjadi lebih serius
merencanakan dan berikhtiar untuk masa depan. Kita bisa belajar menempatkan
alokasi cinta dengan lebih proposional. Dan sebagainya, dan sebagainya.
Perlu diketahui, ini saya
juga belum bisa mengatasi “masalah hati” ini dengan baik. Saya menuliskannya
untuk pengingatan, sindiran, dan nasihat.
Sahabat saya waktu SMA pernah menyatakan bahwa orang cerdas
dapat mengendalikan perasaannya. Di luar fakta bahwa ada tangan tak terlihat
yang bisa membolak-balikkan perasaan, atau menjadikan sholat dan sabar sebagai
penolong, mencerdaskan diri nyaris menjadi satu-satunya cara untuk mengambil
alih kendali penuh atas hati.
Dan kemudian saya memutuskan untuk lebih sering membaca buku
dan artikel di situs-situs keren semacam Indoprogress.[]
-718 kata (tanpa judul+prolog)-
--------------------------------------------------------
nb: Ahaha epic! Maaf bila terkesan curhat, rasanya saya
memang harus mengaku sekalian, agar konteks “curhatan-curhatan” berikutnya bisa
lebih dipahami. Tidak apa-apalah sekali-kali image rusak, “menjadi lilin yang
terbakar habis untuk menerangi sekitarnya”.
0 comments:
Post a Comment