Bagi sebagian individu,seperti Bruce Wayne, jatuh cinta
adalah kelemahan. Jatuh cinta adalah kondisi yang sangat berbahaya karena itu berarti
dia membahayakan orang yang dia cintai. Jatuh cinta bagi Bruce Wayne adalah
semacam kryptonite bagi Superman—melemahkan dan mengganggu fokus. Dalam konteks
yang hampir sama, Yusuf Zabda membuat sebuah kutipan yang luar biasa:
“Lindungilah orang yang kamu cintai dari bahaya dirimu sendiri”.
Saya ingat tulisan Esty Diah Imaniar yang berjudul
“Bermain-main dengan Iman”. Satu tahun lebih berlalu dan saya masih terkesima
dengan konsep permainannya. Aturan mainnya seperti ini: (1) cukup percayai
sebuah konsep, (2) lalu mulailah pencarian kebenaran konsep itu secara logis,
dan (3) kembali percaya pada konsep awal dengan pendekatan yang bertambah.
Permainan ini sekilas tampak sangat berbahaya, karena pada
langkah pertama kita bisa mengajukan argumen paling mendasar (dan fix) sekalipun, seperti: “Tuhan itu
ada”. Namun, asal tidak berhenti pada langkah kedua, dengan kata lain tidak
berhenti pada pertanyaan, “Kalau memang Tuhan ada, bagaimana bentuknya?” atau
“Di mana Dia berada?”, permainan ini aman. Karena ketika sudah lelah memikirkan
jawaban “logis”-nya (dan pasti akan melelahkan), kita bisa menyerah dan kembali
lagi pada konsep awal: Tuhan memang ada. Simpel.
Kemudian timbul pertanyaan, kalau memang hasil akhirnya hanya seperti itu, mengapa susah-susah mengusik iman kita sendiri? (sementara, tidak semua orang dianugerahi nikmat iman). Alasannya ada di langkah ketiga: untuk mendapatkan “pendekatan yang bertambah”.
Misalnya lagi, kita mempercayai konsep “Tuhan Mahakuasa”.
Kemudian kita ajukan sebuah pertanyaan untuk “mempertanyakan”
kemahakuasaan-Nya, seperti: “Bisakah Tuhan menciptakan batu yang begitu besar,
sehingga saking besarnya Dia sendiri tidak bisa mengangkatnya?”.
Kita bisa katakan “ya, bisa”, karena Tuhan memang
Mahapencipta. Namun jika kita menjawab seperti itu, kita juga mengatakan bahwa
Tuhan tidak mampu mengangkat batu yang Dia ciptakan. Itu akan kontradiktif
dengan konsep “Tuhan Mahakuasa” (ingat, konsep awal harus tetap kita pegang).
Kemudian kita mencoba jawaban yang lain: “kalau begitu, tidak bisa”, yang
kemudian hanya akan mengarah pada kesalahan mendasar yang lain; karena Tuhan
Mahapencipta, apapun bisa Dia ciptakan.
So, how’s that? :D
Proses pengerjaan skripsi dalam Kajian Budaya mengajarkan
saya satu hal: bahwa dalam menyimpulkan suatu permasalahan, kita perlu melihat
dari berbagai sudut pandang. Istilah akademisnya: interdisciplinary, melibatkan banyak disiplin ilmu. Ditambah lagi, orang
yang suka diskusi tentu setuju bahwa dengan membentur-benturkan pendapat, akan
tercipta kebenaran yang nilainya lebih tinggi. Nah, untuk melanjutkan “meng-kepo”
Tuhan, kita juga perlu cara seperti itu: melibatkan pendekatan lain.
Kita paham bahwa Tuhan itu berbeda dengan makhuknya, mukhalafatu lil hawaditsi. Manusia, hewan,
tumbuhan, matahari, dan sebagainya adalah makhluk-Nya yang bersifat materi, sementara
Tuhan sendiri bersifat non-materi (istilah agamanya: ghaib). Karena sifat keduanya
yang berlawanan, benda materi tidak bisa berinteraksi dengan yang non-materi—kita
tidak bisa melihat malaikat, bukan? Dan karena indera manusia hanya bisa merespon
benda-benda materi, otomatis citraan yang ada di pikiran kita juga terbatas
pada benda-benda materi.
Thus, bila kembali
ke pertanyaan “Bisakah Tuhan menciptakan batu yang begitu besar, sehingga
saking besarnya Dia sendiri tidak bisa mengangkatnya?”, kita bisa mengurai
beberapa hal; (1) batu adalah benda materi, secara logika tidak mungkin berinteraksi
langsung dengan Tuhan, (2) dalam membayangkan ukuran “besar” di sini, pikiran
kita masih terikat ruang dan waktu, sementara Tuhan tidak terikat ruang dan
waktu, (3) Tuhan berbeda dengan makhluknya, tentu cara-Nya “mengangkat” tidak
sama dengan bagaimana kita mengangkat batu.
Kesimpulannya: Tuhan masih unimaginable, namun setidaknya kita sedikit lebih mengenal
bagaimana ke-unimaginable-an-Nya. Tujuan
dari permainan tadi telah tercapai. Hal ini menjadi penting bila kita setuju
dengan argumen “tak kenal, maka tak cinta”.
Dan kembali bicara soal (ehem) cinta, Plato mengatakan bahwa
“love is a serious mental disease”,
cinta adalah penyakit kejiwaan yang serius. Dalam hal ini, tentu saja, Plato
berbicara tentang cinta dengan sesama manusia. Konon bila kita sampai bisa mengalami
“penyakit kejiwaan” karena ulah sesama manusia, berarti ada sesuatu yang salah
dengan iman kita. Maka dari itu, saya sampai kepada kesimpulan bahwa mencintai
seseorang bisa jadi merupakan “Bermain-main dengan Iman” level dua.[]
-632 kata (tanpa judul)-
---------------------------------------------------------
nb: Endingnya menggantung, ya? Tulisan ini masih ada
lanjutannya. Karena jumlah katanya terlalu banyak, saya memutuskan untuk
memisahnya.
0 comments:
Post a Comment