Menjadi seorang ibu berarti
memiliki kewajiban untuk mendidik anak dalam porsi yang lebih besar daripada
ayah. Bila tidak, tidak mungkin beliau (SAW) menjawab sampai tiga kali dengan
jawaban yang sama ketika ditanya tentang siapa yang paling berhak atas
perlakuan baik anak – ibu disebutkan tiga kali baru kemudian ayah satu kali. Islam
memandang ibu adalah pendidik utama anak, semakin baik kualitas ibu, semakin
baik kualitas generasi yang dihasilkan. Maka dari itu, seorang ibu perlu memiliki
ilmu yang banyak untuk menuntun anak kepada kebaikan. Ustadz Felix Siauw pernah
menganalogikan bahwa membesarkan anak tanpa ilmu sama saja menuntunnya ke depan
jurang kehidupan.
Sedikit banyak, anak akan
menyerap dan meniru apa yang dilakukan dan diajarkan oleh ibunya seperti sebuah
pola. Ibu yang cerdas akan memaksimalkan posisinya sebagai pihak yang paling
harus ditaati setelah Allah dan rasulnya. Karenanya, beliau akan lebih memilih
meluangkan waktu untuk mengurus rumah dan anak daripada pergi bekerja. Meski
demikian, ada hal yang tidak bisa sepenuhnya diajarkan oleh ibu, sehingga perlu
melibatkan institusi lain – sekolah atau universitas. Untuk memaksimalkan
kebutuhan ilmu sang anak, ibu mempersiapkan pendidikan terbaik – termasuk
mengijinkannya untuk menempuh kuliah di tempat yang jauh.
Melepaskan anak untuk merantau
ibarat memberi kebebasan kepada anak untuk mengatur hidupnya sendiri. Hal
tersebut tentu berat dan membingungkan – beliau membebaskan sang anak untuk
pergi meraih cita-cita dan masa depan, padahal sebenarnya ingin anaknya tetap
di dekatnya. Kebingungan ibu bertambah ketika anak yang merantau tersebut
perempuan, yang pada umumnya membutuhkan penjagaan lebih. Telepon dan sms rutin
ibu lakukan untuk mengetahui bagaimana kabar anak, tengah sibuk apa, sedang
berteman dengan siapa saja, dan sebagainya. Sayangnya, terkadang ada anak yang
meremehkan pentingnya memberi kabar, dan itu membuat perjuangan hati ibu lebih
berat.
Bagaimanapun, doa harus diimbangi
dengan usaha. Peran ibu sebagai pendidik kembali diuji ketika anak berada di
perantauan. Sebelum memiliki suami, orang tua masih memiliki tanggung jawab
terhadap akidah anak perempuannya. Oleh sebab itu, seorang ibu biasanya masih
telaten menelepon anak pagi-pagi buta untuk membangunkannya sholat Subuh atau
makan sahur. Sesekali, ibu juga mengingatkan agar anak tetap menjaga ibadah dan
perilakunya, cara berpakaian, bahkan sampai memilih teman. Semua itu ibu
lakukan agar apa yang beliau tanamkan pada anaknya sedari kecil tidak hilang
begitu saja hanya karena empat sampai lima tahun jauh dari pengawasan.
Kesuksesan seorang anak tidak
bisa lepas dari peran ibu, karena ridha Allah tergantung ridhanya. Sekuat
apapun sang anak secara individu, sehebat apapun prestasi akademik atau
organisasinya, bisa jadi dia memiliki titik nadir. Ketika berada di titik
terendahnya, nasehat dan motivasi dari ibu sangat dia butuhkan untuk menjaga
semangat belajarnya. Sesekali, ketika pulang ke rumah, anak bisa bercerita
panjang mengenai hari-harinya di kuliah atau sekedar bersenda gurau. Dalam waktu
khusus itu pula, anak bisa menceritakan masalahnya untuk membagi beban –
walaupun kita tahu beban seorang ibu sudah banyak.
Bertemu secara fisik saja kita
tidak mungkin membalas semua jasa ibu, apalagi berada di tempat yang jauh. Jasa
ibu tidak akan bisa dibalas oleh anaknya sampai-sampai beliau (SAW) mengatakan
bahwa menggendong ibu sejauh 9,6 kilometer di jalan berpasir yang terik –yang
mana dikatakan sampai bisa mematangkan daging— mungkin baru bisa membalas sedikit rasa sakit saat ibu melahirkan.
Maka dari itu, mendoakan balik orang tua juga merupakan hal penting bagi anak
yang ada di perantauan. Sudjiwo Tejo, seniman yang sering twitteran itu, pernah
mengatakan bahwa puncak kangen paling dahsyat itu ketika dua orang tak saling
telepon atau sms tetapi diam-diam keduanya saling mendoakan. []
subhanalloh.. jarang ngeblog sekarang hahaha ni tak kasih semangat http://pandualong.blogspot.com/#pages/1
ReplyDelete