Perjuangan Sunyi Ibu

Dec 21, 2013

Menjadi seorang ibu berarti memiliki kewajiban untuk mendidik anak dalam porsi yang lebih besar daripada ayah. Bila tidak, tidak mungkin beliau (SAW) menjawab sampai tiga kali dengan jawaban yang sama ketika ditanya tentang siapa yang paling berhak atas perlakuan baik anak – ibu disebutkan tiga kali baru kemudian ayah satu kali. Islam memandang ibu adalah pendidik utama anak, semakin baik kualitas ibu, semakin baik kualitas generasi yang dihasilkan. Maka dari itu, seorang ibu perlu memiliki ilmu yang banyak untuk menuntun anak kepada kebaikan. Ustadz Felix Siauw pernah menganalogikan bahwa membesarkan anak tanpa ilmu sama saja menuntunnya ke depan jurang kehidupan.

Sedikit banyak, anak akan menyerap dan meniru apa yang dilakukan dan diajarkan oleh ibunya seperti sebuah pola. Ibu yang cerdas akan memaksimalkan posisinya sebagai pihak yang paling harus ditaati setelah Allah dan rasulnya. Karenanya, beliau akan lebih memilih meluangkan waktu untuk mengurus rumah dan anak daripada pergi bekerja. Meski demikian, ada hal yang tidak bisa sepenuhnya diajarkan oleh ibu, sehingga perlu melibatkan institusi lain – sekolah atau universitas. Untuk memaksimalkan kebutuhan ilmu sang anak, ibu mempersiapkan pendidikan terbaik – termasuk mengijinkannya untuk menempuh kuliah di tempat yang jauh.

Melepaskan anak untuk merantau ibarat memberi kebebasan kepada anak untuk mengatur hidupnya sendiri. Hal tersebut tentu berat dan membingungkan – beliau membebaskan sang anak untuk pergi meraih cita-cita dan masa depan, padahal sebenarnya ingin anaknya tetap di dekatnya. Kebingungan ibu bertambah ketika anak yang merantau tersebut perempuan, yang pada umumnya membutuhkan penjagaan lebih. Telepon dan sms rutin ibu lakukan untuk mengetahui bagaimana kabar anak, tengah sibuk apa, sedang berteman dengan siapa saja, dan sebagainya. Sayangnya, terkadang ada anak yang meremehkan pentingnya memberi kabar, dan itu membuat perjuangan hati ibu lebih berat.

Perjuangan hati membutuhkan kekuatan yang lebih, dan kekuatan seorang muslim adalah doa. Perjuangan sunyi setiap selesai sholat, bahkan di tengah malam, jauh lebih bemakna daripada berapapun uang saku yang orang tua kirimkan. Mungkin ketika anak tengah belajar untuk menghadapi ujian atau begitu sibuk dengan kegiatan kemahasiswaan, ibu selalu menyertainya dengan doa. Ibu memberikan bantuan yang tidak bisa ditukar dengan apapun: permohonan agar Allah ikut campur dalam setiap urusan anaknya. Karena berada di luar jangkauannya, ibu berharap agar tangan Tuhan bekerja untuk membimbing sang anak agar (dalam kondisi bagaimanapun) akidahnya tetap terjaga.

Bagaimanapun, doa harus diimbangi dengan usaha. Peran ibu sebagai pendidik kembali diuji ketika anak berada di perantauan. Sebelum memiliki suami, orang tua masih memiliki tanggung jawab terhadap akidah anak perempuannya. Oleh sebab itu, seorang ibu biasanya masih telaten menelepon anak pagi-pagi buta untuk membangunkannya sholat Subuh atau makan sahur. Sesekali, ibu juga mengingatkan agar anak tetap menjaga ibadah dan perilakunya, cara berpakaian, bahkan sampai memilih teman. Semua itu ibu lakukan agar apa yang beliau tanamkan pada anaknya sedari kecil tidak hilang begitu saja hanya karena empat sampai lima tahun jauh dari pengawasan.

Kesuksesan seorang anak tidak bisa lepas dari peran ibu, karena ridha Allah tergantung ridhanya. Sekuat apapun sang anak secara individu, sehebat apapun prestasi akademik atau organisasinya, bisa jadi dia memiliki titik nadir. Ketika berada di titik terendahnya, nasehat dan motivasi dari ibu sangat dia butuhkan untuk menjaga semangat belajarnya. Sesekali, ketika pulang ke rumah, anak bisa bercerita panjang mengenai hari-harinya di kuliah atau sekedar bersenda gurau. Dalam waktu khusus itu pula, anak bisa menceritakan masalahnya untuk membagi beban – walaupun kita tahu beban seorang ibu sudah banyak.

Bertemu secara fisik saja kita tidak mungkin membalas semua jasa ibu, apalagi berada di tempat yang jauh. Jasa ibu tidak akan bisa dibalas oleh anaknya sampai-sampai beliau (SAW) mengatakan bahwa menggendong ibu sejauh 9,6 kilometer di jalan berpasir yang terik –yang mana dikatakan sampai bisa mematangkan daging— mungkin baru bisa membalas sedikit rasa sakit saat ibu melahirkan. Maka dari itu, mendoakan balik orang tua juga merupakan hal penting bagi anak yang ada di perantauan. Sudjiwo Tejo, seniman yang sering twitteran itu, pernah mengatakan bahwa puncak kangen paling dahsyat itu ketika dua orang tak saling telepon atau sms tetapi diam-diam keduanya saling mendoakan. []

1 comment:

  1. subhanalloh.. jarang ngeblog sekarang hahaha ni tak kasih semangat http://pandualong.blogspot.com/#pages/1

    ReplyDelete