Kedewasaan dalam sebuah Kapal Otok-otok

Apr 7, 2013

Tulisan ini khusus aku persembahkan untuk dua sahabat saya di kampung, Pandu Jati Laksono dan Ali Prakoso Wibowo. Menulis paragraf awal ini saja sudah membuatku bahagia. Tulisan ini merupakan cerita singkat tentang bagaimana kita mengeksekusi tantangan konyol kita di acara rapat karangtaruna kemarin: menjalankan kapal otok-otok di tengah forum rapat. Bagi yang belum tahu, itu adalah mainan masa kecil berbentuk kapal yang bisa dijalankan di air dengan menyalakan api di bagian tengahnya. Terlepas dari nantinya kejadian ini akan dipandang keren atau bodoh, selamat datang di kampung Badranbaru tercinta.

Sore itu kita berkumpul seperti seharusnya, bermain dan bercengkerama dengan setiap pandangan kita yang berbeda terhadap dunia. Ide luar biasa tersebut didapatkan ketika perjalanan pulang dari warung mie ayam. Sekedar informasi, di dekat tempat tinggal kami, tepatnya di sekitar Pabrik Gula Tasikmadu sedang ada sebuah event tahunan semacam pasar malam bernama Sondokoro Fair (kami sejak kecil menyebutnya dengan Cembengan). Event tersebut diadakan untuk menandai awal dimulainya musim giling. Menurut pengakuan Pandu, dia terinspirasi untuk membeli kapal otok-otok di sebuah stand Cembengan karena dia ingat waktu kecil pernah dibelikan mainan yang sama oleh almarhum simbah-nya. Singkat cerita kami mampir ke stand tersebut dan mulai menyusun rencana.
Pada waktu itu Pandu sempat mengatakan sesuatu yang membuat aku meleleh. Dia berkata kurang lebih, “Kasihan bapaknya, jadi kita beli saja.”

Misi sulit ini kami buat sebagai tantangan untuk mengetes kejantanan kami masing-masing. Menurutku, ini perlu dilakukan karena selama ini guyonan kami selalu penuh gombalan dan sering saling mengatai maho (manusia homo). Kita sering bilang maho padahal tidak mengerti penderitaan maho yang sesungguhnya. Selama ini kita terlalu banyak cakap!

Contoh percakapan yang tidak nyambung dan mendadak romantis:
Pandu: “Sepertinya kita harus memisahkan kelas anak-anak (TPA) ini.”
Aku: “Tapi hati kita tidak harus terpisah kan?”

Kita bagi misi ini menjadi tiga bagian: Pandu membeli dan membawa kapalnya ke acara rapat, aku menyampaikan niat kami ke forum dan meminta tolong tuan rumah untuk menyediakan baskom beserta airnya, Ali menyalakan api kapal di tengah-tengah forum. Masing-masing dari kami memiliki tanggung jawab untuk menambah kemungkinan keberhasilan misi ini.

Malam telah tiba, acara rapat karangtaruna pun dimulai. Asal tahu saja, acara rapat kali ini dilakukan di rumah Fonda, salah satu anggota karangtaruna Binaremaja sekaligus putra dari Bapak Tri Sugito, Pembina karangtaruna. Pandu sudah siap dengan kapal dan aku siap dengan kata-kata diplomatis yang akan kusampaikan. Sebelum rapat dimulai, kita bertiga sudah mulai susah menahan tawa membayangkan apa yang akan terjadi. Ketika Fonda membagikan snack dan minuman, aku bertanya padanya apakah ada baskom dan air. Ali kontan tidak terima karena menganggap aku menyalahi perjanjian, aku seharusnya menyampaikan langsung ke Bapak Tri. Kalem Al, aku memang sudah berencana untuk menyampaikan hal ini ke Bapak Tri di acara lain-lain, salah satu sesi dalam rapat karangtaruna.

Pandu Jati Laksono adalah ketua Karangtaruna Bina Remaja, dan dia mulai memimpin rapat.

Tempat duduk kami agak berjauhan, maka dari itu, koordinasi rencana kami terdengar dan tersebar. Teman-teman di sekitar kami pun mulai tersenyum, setengah tertawa. Ada yang bertanya-tanya dan aku jelaskan sambil menahan tawa. Begitulah suasana rapat yang aku sukai, lebih ringan daripada di kampus. Kami mulai mengaitkan apa-apa yang disampaikan Bapak Tri dengan kapal. Seperti misal ketika beliau berkata, “Harap maklum ya, setelah hujan deras, tanah di luar jadi becek.” Aku bicara pada Ali, “Tidak masalah Pak, kami punya kapal..”

Akhirnya kita sampai ke acara lain-lain, show must go on. Kebetulan saat itu rapat sedang dihentikan sejenak karena kita sampai di acara makan berat. Di sela-sela makan, aku masuk ke forum.

“Saya masuk ya, saya ingin menyampaikan amanah dari Mas Pandu, tadi sore kita mampir ke Cembengan dan membeli sebuah kapal otok-otok, Mas Pandu ingin memperlihatkannya..”

“Sekaligus kami meminta ijin ke tuan rumah untuk menyediakan baskom dan air..” Kataku melanjutkan.

Ciaaa, itulah yang kusebut dengan diplomatis, membawa-bawa nama Pandu, dengan begitu aku bisa membagi rasa malu. Forum rapat kontan menjadi ramai, semua histeris dalam tawa. Akhirnya diputuskan untuk menyalakan kapal itu seusai rapat. Dengan ini misi pribadiku dan Pandu sukses. The mission is completed.

Di akhir acara, Fonda telah menyediakan baskom dan air. Namun ternyata di rumah Bapak Tri tidak ada korek api, tidak ada yang merokok. Rencana tidak terwujud dengan Ali sebagai orang yang menanggung kegagalan. Kapal hanya mengapung di atas baskom tidak bergerak. Seperti Ali yang hanya bisa terdiam ter-bully dengan setiap guyonan yang kami lontarkan, termasuk kata maho seperti biasa.

Misi memang tidak terselesaikan, tapi itu tidak ada bedanya dengan ketika itu sukses karena kami sudah berusaha (kecuali Ali yang tidak berusaha cukup keras untuk mencari api). Saat itu orang lain mungkin melihat kami kekanak-kanakan, padahal dibutuhkan kedewasaan untuk bisa menyelesaikan tanggung jawab yang diamanahkan kepada kita, termasuk misi itu.

Daisy Elva, salah satu guru menulis saya, mengatakan kalau dewasa itu karakter inner. Kalau argumen itu benar, berarti dewasa belum tentu tercermin dalam sikap tubuh yang kalem. Luarnya kalem tapi kalau selalu menghindari masalah berarti sama saja. Kuliah persepsi dari Elva dan pengalaman ini semakin meyakinkan persepsiku bahwa menjadi dewasa tidak harus terlalu kalem dan menyebalkan.
Menjadi tua itu pasti, tapi menjadi dewasa itu pilihan, termasuk memilih untuk tumbuh dewasa dengan cara yang menyenangkan. Hal yang terpenting adalah bagaimana menjaga pikiran kita agar tetap muda.

1 comment:

  1. gue sampek sekarang masih heran, kok bisa ya kapal otok-otok bisa jalan cuma dikasih minyak tanah/bensi terus dipanasin pake api -__-

    ReplyDelete