Media penyimpanan berkembang dari waktu ke waktu. Dari hardisk generasi awal yang hanya berkapasitas sekitar tiga megabyte tapi besarnya sekulkas. Sampai sekarang sejak tahun 2012, manusia mengembangkan sebuah media penyimpanan superpraktis yang bernama Cloud Storage.
Dengan menggunakan “awan” ini, kita bisa
mengakses data yang kita miliki di mana saja dan kapan saja—selama memiliki
akses internet, tentu saja. Media penyimpanan Cloud Storage yang saat ini cukup
terkenal (dan gratis) antara lain; SkyDrive, Google Drive, DropBox dan Box. Aku
membayangkan data-data yang disimpan dalam Cloud itu benar-benar seperti
melayang di udara—seperti awan. Selama kita memiliki koneksi internet, kita
bisa mengunduhnya di mana saja. Tanpa perlu membawa perangkat penyimpanan
semacam flashdisk.
Goenawan Mohamad (GM), dalam capingnya yang
berjudul Origami, mengatakan bahwa seorang
penulis sejarah yang baik adalah seperti pembuat origami. Ia menulis sesuatu dari
“bahan-bahan yang gampang melayang”. Sebab materi penyusunan sejarah
sesungguhnya bagaikan kertas: ingatan. Ingatan, masih kata GM, tak pernah solid
dan stabil—ingatan dengan mudah melayang tertiup angin. GM seperti membenarkan
argumen bahwa manusia adalah makhluk yang mudah lupa (makanya kita
direkomendasikan untuk selalu berdzikir—mengingat).
Karena manusia adalah makhluk pelupa,
sejarah harus ditulis: Termasuk sejarah
pemikiran kita sendiri, tampaknya juga perlu terus kita tulis. Imam Ali RA
berwasiat: ikatlah ilmu dengan menuliskannya.
Sebenarnya, kalau memang ingatan itu
melayang layaknya komputasi Cloud, kita tidak perlu “menyimpannya” dalam
tulisan. Konon kita akan bisa mengingat sebuah kejadian ketika kita sedang
dalam situasi yang sama dengan yang sebelumnya kita alami. Misalnya, orang yang
sudah lama menikah dan lupa bagaimana suasana pesta pernikahannya dulu, bisa mencoba
mengingat-ingatnya dengan berpose sama seperti posenya saat difoto di tempat
resepsi.
Itu adalah cara yang disengaja. Pun kadang secara
tidak sengaja kita mengingat sesuatu karena cara itu juga.Tidak jarang yang
muncul adalah ingatan pahit. Misalnya: mengingat hampir secara detail kenangan
makan siang bersama “seseorang di masa lalu”, hanya karena tidak sengaja
memesan minuman favoritnya. Ketika sedang asik mengobrol, minuman kita
tiba-tiba mengingatkan kita padanya. Saat itu tiba-tiba kita berhenti bicara,
semua orang juga seperti berhenti bicara. Untuk beberapa detik suasana tempat
makan membeku dan flashback dimulai.
Uh!
Dengan kata lain: ingatan kita sebenarnya
ada di udara sekitar kita, hanya butuh sebuah “koneksi” untuk mengambil kembali
ingatan tersebut. Kita seperti selalu dinaungi awan ingatan yang suatu ketika
bisa merambatkan cahaya matahari yang hangat, namun juga bisa menusuk kita dengan
petir yang menyambar.
Seperti kata GM, ingatan mungkin bisa
melayang, namun tidak bisa kita atur semudah memakai teknologi Cloud. Pun
ingatan yang secara otomatis tersimpan di udara adalah kenangan yang sifatnya
empiris—pengalaman. Kita mungkin
ingat bagaimana dulu kita suka berdemo, tetapi tidak serta merta juga ingat ideologi
yang membuat kita suka berdemo. Sesuatu yang sifatnya ideologis, termasuk ilmu
pengetahuan, perlu usaha lebih keras agar kita bisa terus mengingatnya: Kita perlu menuliskannya.
Ketika ingatan itu sudah menjadi tulisan,
barulah kita bisa menerbangkannya: menggunggahnya di blog atau facebook. Suatu
saat, bila kita ingin mengingat jejak pemikiran kita, kita bisa mengaksesnya
dengan koneksi internet.
Begitupun dengan jurnal ini. Aku (mencoba) terus
menulis, dan membiarkan semesta merekamnya di udara. Kalau suatu saat aku
tersesat dalam kegamangan pemikiranku sendiri, aku selalu bisa menangkap
argumen masa lalu dalam tulisan-tulisan lama. Aku telah terbiasa melepaskan
tulisan ke internet, untuk kemudian membiarkan orang lain mengambil sesuatu
darinya, dan kemudian menulis lagi, melepasnya lagi, dan menulis lagi. Begitu
terus, sampai titik tertentu.
Alasanku sederhana dan klise: untuk
beberapa hal, aku tidak ingin mereka berlalu begitu saja. Kita cenderung ingin
berfoto ketika berkunjung ke suatu tempat, bukan? Karena kita ingin mematri
kenangan kita akan tempat itu dalam foto. Aku juga ingin mencatat mereka: Diriku yang alay, diriku yang muda dan
bodoh, diriku yang sok alim, diriku yang kekiri-kirian, atau diriku yang idealis.
Inilah mengapa kita juga tidak perlu
menghapus postingan memalukan dan alay di blog. Kata Fahd Djibran: Sebab kita perlu menengoknya untuk merayakan
kita yang telah berubah di masa kini dan akan menjadi lebih baik di masa depan.
Aku juga begitu, seringkali tersenyum bila membuka-buka tulisan lama di blog—seraya
bertanya pada diri sendiri, “Aku dulu separah ini, ya?” Dan tulisan kali ini pun mungkin juga akan membuatku tersenyum di masa depan.
Pada titik ini, aku merasa sangat beruntung
telah lama suka menulis. []
Suka banget sama postingan ini. Ya, ga usah malu sama kekurangan kita di masa lalu, karena semua itu adalah saksi nyata perjalanan hidup kita. Kekurangan di masa lalu adalah tanda bahwa diri kita yg hari ini sudah menjadi lebih baik daripada waktu itu =)
ReplyDeleteBener Mas, jadi kan ada ungkapan tuh: kebijaksaan bertambah bersama dengan bertambahnya umur.
ReplyDelete