Kali ini, kita kembali pada pembahasan acara 17-an kemarin.
Saya sempat mendapati beberapa orang berkata kalau lomba 17-an di kampungnya sedang tidak ada. Saya pribadi berharap hal tersebut memang karena ketidak-aktifan pemuda, bukan karena budaya yang memang luntur. Sebenarnya, tidak mudah juga bagi kami mengatur waktu untuk mempersiapkan acara 17-an kemarin setelah marathon kegiatan di bulan puasa dan lebaran. Maka seperti yang sudah saya sampaikan: mendapati acara bisa berlangsung sampai selesai tanpa hambatan yang berarti adalah sebuah kesuksesan.
Selain lomba belut yang sudah kita kupas pada tulisan yang lalu, saya akan beralih pada lomba yang baru kali ini saya lihat berlangsung di kampung saya: mencari harta karun. Kebutuhan akan ide lomba baru memang diperlukan untuk menjaga eksistensi kreatifitas kita. Setelah lomba stand up comedy yang saya usulkan tidak mendapat acc, saya agak pesimis kalau teman-teman lebih memilih bermain aman dengan mengadakan lomba yang sama seperti tahun kemarin. Namun kemudian lomba ini muncul, lalu seperti apakah si mencari harta karun ini?
Konsepnya sederhana: anak-anak harus mencari koin emas yang tertimbun di dalam tepung. Untuk koin emas, kami menggunakan coklat koin. Karena ini lomba untuk melatih semangat juang (dan karena bukan kami panitia yang melakukannya), maka menggambil koinnya tidak pakai tangan, tetapi memakai mulut. Alasan lain digunakannya coklat koin adalah kalau secara absurd benda tersebut tertelan, itu adalah coklat yang masih ada bungkusnya. Tidak berhenti sampai di situ, sejumlah tazos juga disusupkan ke tepung sebagai jebakan betmen.
Tiga nampan berisi harta karun telah tersedia untuk enam orang peserta. Dengan kata lain, dua orang harus berebut koin emas di satu nampan. Menjilat, meraba dengan lidah, meniup hingga tepungnya kemana-mana. Saya masih ingat bagaimana mulut anak-anak itu penuh dengan tepung, sebagian ada yang menjalar sampai ke muka. Sungguh, permainan ini sebaiknya tidak dilakukan di rumah. Saya tahu, anak-anak itu sudah mencoba setabah mungkin menghadapi rasa getir dari tepung mentah sambil tetap berusaha menemukan koin. Terbukti ketika waktu habis, mereka langsung berlari ke tempat wudhu masjid, berebut air untuk menghilangkan tepung dari wajah.
Dari meja nampan, menuju mangkuk penampung koin, lalu kembali ke meja nampan. Bayangkan, begitu seterusnya sampai waktu habis. Untung dulu lomba sekejam itu belum ditemukan!
Saya menemukan sebuah poin unik dari lomba ini: bahwa mulut ini kadang memang hanya pandai bicara. Analogi mulut dan tangan pada lomba ini menunjukkan dua karakter manusia yang sangat berbeda. Mulut hanya pandai beretorika, menggunakan bahasa (atau intonasi) tinggi untuk memenangkan argumen. Artinya, bacot 100 persen, aplikasi 0 persen. Berbeda dengan tangan, hampir tidak pernah bicara, namun selalu aktif bekerja.
Permainan ini mencoba menggambarkan situasi apabila mulut diharuskan berada di posisi tangan. Nah!
A simple-thinker | @cahyoichi_
0 comments:
Post a Comment