Bicara tentang pengalaman menulis, saya sudah suka menulis sejak SMP, karena waktu itu guru mata pelajaran Bahasa Indonesia saya mengajar dengan sangat baik. Beliau memberikan kesempatan yang luas kepada siswanya untuk mengembangkan diri, dengan sering memberi tugas menulis baik itu puisi, cerpen, atau cerita pengalaman.
Saya selalu antusias dalam setiap tugas yang beliau berikan. Bisa dikatakan saya selalu ingin membuat karya-karya yang membuat orang lain kagum. Maka dari itu saya bersemangat bila Ibu Guru memberi saya kesempatan untuk membacakan karya saya di depan kelas. Saya menikmati saat-saat ketika saya mengakhiri bacaan saya dan teman-teman bertepuk tangan. Terkadang saya benar-benar rindu saat-saat itu, ketika saya benar-benar menjadi diri saya sendiri.
Sifat tersebut sedikit banyak berpengaruh dan terbawa sampai sekarang, saya masih suka menulis, terutama menulis status (haha!). Serius, saya seorang blogger. Namun beberapa tahun ini saya seperti menjalankan semacam kutukan: antusias menulis tetapi tidak diberkati hobi membaca. Maka dari itu tulisan-tulisan saya di blog sangat tidak jelas, amburadul, dan tidak berideologi.
Meskipun demikian, saya sangat bangga terhadap diri saya yang tercermin dalam tulisan-tulisan itu, begitu polos dan tidak idealis. Walaupun tidak disertai argumen yang berterima, tulisan-tulisan itu begitu jujur. Belakangan saya membaca lagi tulisan-tulisan lama, menyadari betapa polosnya saya saat itu dan mata saya sempat berkaca-kaca. Hari ini saya merasa kalau diri saya begitu sok idealis dan terlalu banyak cakap.
Sisi Menyakitkan dari Menulis
Saya pernah melalui sebuah proses menulis yang intinya menciptakan satu buah tulisan setiap hari. Cukup satu tulisan dengan panjang sekitar 350 kata setiap hari, konsepnya sesederhana itu. Namun dengan wawasan dan kemampuan saya yang sekarang, hal tersebut entah bagaimana terasa berat dan penuh tekanan, dari segi manapun saya melihatnya. Lebih tepatnya begini: kadang terasa berat, kadang terasa gampang.
Situasi seperti itu justru malah (maaf) menyakitkan, karena ketika sedang gampang menulis, saya sering kelewat idealis dan menghasilkan tulisan-tulisan arogan. Saya memang orangnya seperti itu. Sehingga ketika saya sedang berat untuk menulis dan bahkan tidak mampu menghasilkan satu tulisan yang (katakanlah) layak, saya bertanya pada diri saya sendiri, buat apa ke-banyak-cakapan-ku kemarin? Keadaan yang tidak bisa konsisten seperti itu membuat saya merasa dikhianati oleh diri saya sendiri.
Ada beberapa masalah, yang pertama adalah kekuatan hati. Idealnya kita bisa menjaga hati kita untuk tetap fokus dan tidak terpengaruh hal-hal menyenangkan tapi tidak pada waktunya, sehingga menggangu proses pembuatan sebuah tulisan. Tetapi seperti hal-hal ideal yang lain, selalu susah untuk dilakukan. Gangguan jaman sekarang itu tidak jauh-jauh dari facebook, twitter, game, video tentang Eyang Subur di youtube, dan lain-lain.
Terjebak dalam hal-hal tersebut seperti menyelami lautan penuh ikan dan terumbu karang yang indah. Kita kadang kita tidak sadar sudah berada di air terlalu lama sehingga oksigen dalam tabung udara kita hampir habis. Itu sama seperti ketika mood kita sudah terlanjur menguap dan membuat kita menghentikan aktifitas di depan monitor, termasuk menulis. Lebih parah dari itu, kadang ketika saya baru menulis beberapa paragraf, saya tiba-tiba beranjak dari tempat duduk dan berjalan keluar kamar tanpa alasan yang jelas. Dengan begitu tulisan yang sudah terkonsep secara apik kembali tertunda.
Masalah yang lain ada pada pengaturan prioritas, antara kualitas (argumen) atau kemudahan. Saya tidak yakin apakah saya perfeksionis atau bagaimana, tetapi saya kurang menyukai menulis tentang sesuatu yang biasa atau terlalu orang sudah tahu. Hal tersebut membuat saya lebih fokus ke bagaimana menuliskannya dibanding menulis itu sendiri. Untuk membuat beberapa paragraf saja kadang harus mencari referensi dengan membuka beberapa situs di internet, kalau jarang membaca buku memang seperti ini. Proses ini seperti salah satu beban yang diberikan oleh sisi idealis saya untuk saya kerjakan.
Dua masalah di atas kemudian terkait dengan masalah utama, yaitu kedisiplinan. Beberapa orang meremehkan kekuatan dari konsistensi. Mood memang suka membolak-balik, tapi kita selalu bisa mengatasinya dengan berusaha menghadirkan integritas dalam pekerjaan kita.
Kalau menulis mengandung banyak manfaat, dan alasan-alasan untuk menundanya adalah pembenaran dari kemalasan, maka bagaimana bisa kita merasa susah?
@cahyoichi_
0 comments:
Post a Comment