Menulis adalah salah satu cara kita membayar “hutang” ke
masyarakat.
Hutang? Iya, hutang kepada masyarakat. Jika kita kuliah di
universitas negeri, biaya tiap semester bisa murah karena telah disubsidi
dengan uang pajak. Pada
tahun 2012, Hatta Rajasa mengatakan bahwa baru 7,2 persen anak-anak Indonesia
yang masuk ke jenjang pendidikan tinggi—kita benar-benar kelas elit dalam masyarakat! Artinya,
kita sebenarnya sebelas-dua belas dengan elit politik yang “makan” dari uang
rakyat.
Definisi “elit” sendiri bagi setiap orang bisa beda; bisa
jadi seseorang mendefinisikannya sebagai posisi yang penting dalam masyarakat.
Mereka “sadar posisi” bahwa mereka lebih cerdas dan memiliki akses yang lebih
daripada kelompok lain. Dan pada dasarnya, kekuatan besar datang bersama
tanggung jawab yang besar. Thus,
mereka akan berusaha melakukan yang terbaik untuk kemajuan masyarakat di sekitarnya
(intinya: pengabdian).
Sementara sebagian orang mendefinisikan “elit” sebagai sekadar orang yang memiliki posisi di
atas masyarakat yang lain. Dengan begitu, tidak salah bagi mereka untuk hobi
melakukan hal-hal yang “seharusnya” dilakukan kaum elit: bersenang-senang,
belanja, dan makan apa yang ingin mereka makan.
Kata kunci yang membedakan dua definisi di atas adalah:
kesadaran, consciousness.
Kesadaran sebagai mahasiswa ini bisa diaplikasikan dengan beberapa hal; ikut komunitas, LDK, UKM, BEM dan sebagainya. Namun perlu diketahui, “kesadaran” itu tidak muncul begitu saja dengan mengikuti organisasi kampus.
Kesadaran sebagai mahasiswa ini bisa diaplikasikan dengan beberapa hal; ikut komunitas, LDK, UKM, BEM dan sebagainya. Namun perlu diketahui, “kesadaran” itu tidak muncul begitu saja dengan mengikuti organisasi kampus.
Ada banyak alasan bagi mahasiswa untuk ikut organisasi; ada
yang ingin cari teman, cari pengalaman, atau hanya karena organisatoris dianggap sebagai “spesies” yang lebih
maju dalam dunia kecil yang disebut kampus.
Dengan kata lain, orang yang ikut organisasi belum tentu
lebih baik (lebih “sadar”) daripada orang yang (dalam penglihatan kita) apatis.
Dalam banyak kasus (termasuk saya sendiri, jangan-jangan), ada
individu-individu yang sejak dari awal kuliah sudah begitu sibuk aktif di
banyak organisasi, namun pada akhirnya mengalami antiklimaks dan menghadapi
pertanyaan semacam: “untuk apa semua ini?” atau “apa yang sebenarnya aku cari?”.
Dalam sosiologi, status akan menghasilkan peran. Sadar
status, sadar peran. Maka, kembali ke masalah awal, kesadaran bisa dibentuk
dengan merenungi hal ini: saya adalah mahasiswa (muslim), saya memiliki hutang
kepada masyarakat, saya perlu memastikan bahwa yang tengah saya lakukan ini bisa
sedikit banyak membayar hutang tersebut, bukan hanya kesibukan semu ala
sebagian organisatoris.
Dengan begitu, kita tidak akan terjebak dalam rutinitas
proker, dan menjadi semacam “organisatoris fleksibel dengan pemikiran
independen” atau apalah istilahnya. Kita tidak lagi fokus pada dikotomi
“organisatoris vs apatis”, namun “mahasiswa sadar vs tidak sadar”.
Nah, ide tentang “kesadaran” itulah yang kemudian saya
pasang pada argumen awal: menulis adalah salah satu cara kita membayar hutang. Menulis
adalah kegiatan yang begitu cair; kau bisa menjadi Mendagri BEM sekaligus hobi
menulis. Kau bisa menjadi mahasiswa “apatis” sekaligus hobi menulis.
Beberapa hari yang lalu, Muthia Sayekti, dalam tulisan di
blognya, terlihat mematikan sendiri rasa percaya dirinya dalam menulis apa yang
disebutnya sebagai “picisan”, setelah membandingkannya dengan jenis artikel
yang lain.
Dude, who cares about
the genre of your writings as long as you have such “consciousness”?
Bukankah sebuah restoran tidak mungkin menyajikan hanya satu
jenis makanan? Setiap orang memiliki makanan favorit masing-masing, dan setiap
koki memiliki resep andalan masing-masing. Kalau tulisan adalah menu makanan,
kau bisa menciptakan racikan resep sesukamu, asalkan tetap menambahkan satu
bumbu bernama “kesadaran”.
Kalau yang dimaksud dengan “picisan” adalah kisah cinta
mendayu-dayu, penulis sekelas F. Scott Fitzgerald juga menggunakan kisah cinta
antara Jay Gatsby dengan Daisy Buchanan untuk mengkritik sistem kapitalisme di
Amerika Serikat dan runtuhnya moral masyarakat pada waktu itu.
Walaupun, untuk membuat karya sekelas The Great Gatsby, Fitzgerald tentu memiliki kebiasaan baca yang
luar biasa (mengarah ke: mengerikan), terutama buku-buku Marx. Saya kemudian
beranalogi, menulis dan membaca adalah seperti sayap kiri dan sayap kanan pada
seekor burung. Dan burung tidak dapat terbang dengan hanya mengepakkan satu
sayapnya.
Saya berasumsi, masyarakat Amerika yang waktu itu memuja ide
kapitalismenya Adam Smith, mungkin merasa jijik menyentuh buku-buku Marxist. Fitzgerald,
yang sadar akan efek buruk sistem ini, menggunakan pendekatan “kiri” Marx untuk
membuat novel. Novel itulah yang kemudian menyebarkan ide-ide Marx ke
masyarakat.
Berpikir tentang Fitzgerald membuat saya semakin setuju
dengan argumen ini: bahwa penulis memiliki kemampuan untuk menjembatani
dunia-dunia ide dengan dunia nyata. Penulis memahami apa keinginan para pakar,
dan menerjemahkannya ke bahasa orang awam. Penulis menyerap keinginan rakyat
jelata, dan menyampaikan kepada penguasa—termasuk penulis (ehem) skripsi.
Bila
sahabat sekaliber Ali bin Abi Thalib RA menegaskan bahwa ilmu itu lebih mulia
daripada harta, adakah cara membayar “hutang” yang lebih indah dari membagikan
ilmu? Karena dengan menulis, menurut saya, kita menghormati status diri sebagai "kaum terpelajar".[]
0 comments:
Post a Comment