Hampir Benar atau Keterlaluan?

Oct 30, 2013

sumber: dokumen pribadi
sumber: dokumen pribadi
Sebagian dari kita sering kesal bila melihat orang membuang sampah sembarangan. Baiklah, mungkin mereka melempar sampahnya begitu saja karena tidak melihat tempat sampah di sekitar. Tetapi bagaimana dengan fenomena sampah yang hampir masuk ke tempat sampah? Apakah si pelaku terburu-buru sehingga lemparannya meleset? Atau, yang keterlaluan, apakah si pelaku sudah terbiasa berbuat asal dan tidak bisa lagi melihat eksistensi dari tempat sampah?

Membuang sampah di sembarang tempat bukanlah kesalahan yang sederhana. Walaupun hanya dalam bentuk botol air mineral, sampah yang dibiarkan tidak pada tempatnya berpeluang untuk menyebabkan bencana. Apabila setiap orang menganggap nyampah adalah tindakan yang wajar, jalan-jalan dan sungai sekitar kita akan penuh sampah. Timbunan sampah membuat sungai menyempit, mendangkal, tersumbat, dan akan meluap bila terjadi hujan deras. Apakah dunia sudah terlalu kompleks, sehingga kesalahan semacam ini dianggap sebagai hal yang wajar?

Perbuatan membuang sampah sembarangan sering disebut sebagai perbuatan yang disebabkan karena kurang pemahaman akan isu lingkungan. Faktanya, dari sejak kecil kita sudah diberikan nasihat tentang hubungan sederhana antara sampah dan banjir. Dengan begitu, alasan kurangnya pemahaman merupakan alasan yang dibuat-buat dan tidak masuk akal. Alasan yang lebih tepat untuk dihubungkan ke fenomena ini adalah masalah kepedulian, kepekaan, dan rasa malu.

Kepedulian dan kepekaan adalah dua hal yang berkaitan. Kalau kita peka akan dampak-dampak negatif yang akan terjadi, kita akan lebih peduli untuk membuang sampah pada tempatnya. Ketika kita membuang sampah sembarangan, berarti kita egois dan kurang peka dengan kehadiran orang lain. Bila kita membuang sampah di tempat umum, misal di taman atau kampus, kita akan mengganggu kenyamanan orang lain. Orang-orang pergi ke taman untuk berlibur dan bersantai, bukan untuk melihat pemandangan penuh sampah. Pikirkan kalau kita sedang berada di posisi seperti itu.

Alasan yang berikutnya adalah rasa malu. Sampah, sebersih apapun bentuknya, tetaplah kotoran yang harus kita singkirkan. Bagaimana bisa kita tidak malu membuang kotoran kita di sembarang tempat? Kita selalu berusaha untuk membuang kotoran yang ada di dalam perut kita pada tempatnya, karena akan memalukan bila kita membuangnya sembarangan. Karena akan memalukan, adalah alasan mutlak yang bila dilanggar akan menurunkan nilai kemanusiaan kita. Bila kita bisa berpikir linier, kita akan lebih memperhatikan perilaku nyampah kita karena adanya rasa malu tersebut.

Kalau rasa malu dan peka sudah tidak lagi hadir pada diri kita, aman untuk berasumsi kalau nilai kemanusiaan kita telah mengalami degradasi. Kita semakin sama dengan binatang yang mana dalam setiap perilakunya hanya berdasarkan insting. Menurut Karl Marx, manusia itu bisa dibedakan dari hewan karena manusia bertindak atas dasar kehendak dan kesadarannya. Tidak hanya kesadaran intelektual, kita juga memerlukan kesadaran spiritual untuk tetap bisa menghadirkan rasa malu dan rasa peka terhadap apa-apa yang ada di sekitar kita.

Bagaimanapun, kita sangat beruntung. Pada saat kita beretorika bersembunyi di balik kalimat manusia memang tempatnya salah dan lupa, ada orang-orang yang mau memperbaiki kesalahan kita yang satu ini: para pemulung sampah dan penyapu jalanan. Namun sayang sekali, kita menyebut orang-orang yang bekerja untuk bumi ini dengan sebutan yang keliru.

Mereka itu bukan tukang sampah, mereka itu tukang bersih, karena mereka yang membersihkan. Orang-orang yang suka membuang sampah sembarangan itulah yang seharusnya disebut tukang sampah. Persepsi yang kurang tepat ini tanpa sadar telah membuat kita merasa memiliki derajat yang lebih tinggi dari mereka. Maka dari itu, kita sering tidak menghargai usaha orang-orang seperti mereka dan cenderung untuk terus membuang sampah sembarangan.

Sudah banyak Peraturan Daerah (Perda) yang berisi ancaman hukuman terhadap siapa saja yang membuang sampah sembarangan. Seperti yang ada di Jakarta, denda maksimal yang dibebankan kepada orang yang membuang sampah di sungai mencapai 20 juta rupiah (Kompas). Namun seperti yang sering terjadi di negeri ini, hal-hal yang dianggap remah oleh masyarakat juga sering dianggap remeh oleh pemerintah setempat. Maka dari itu, untuk memperbaiki semuanya, kita bisa memulai dari diri kita sendiri.

Kita bisa kembali ke pertanyaan awal. Apapun alasan kita akan sulit dijadikan pembenaran, karena perilaku ini akan berdampak besar baik bagi lingkungan sekitar atau pada sisi spiritualitas kita. Kita perlu memiliki rasa malu dan kepekaan untuk bisa menyikapi hal semacam ini secara serius. Tanpa orang-orang yang benar-benar peka terhadap hal-hal kecil, semaju apapun teknologi, dunia tidak akan berubah menjadi lebih baik, tidak akan.

a simple-thinker | @cahyoichi_

1 comment:

  1. bener iku cahyo....
    aku paling sebel bagi yang buang sampah sembarangan, pas diingetin, mereka bilang, alah cuma segitu eg

    ReplyDelete